Abner Pembunuhan Ayah Kandung Dituntut 12 Tahun Penjara di PN Surabaya

Surabaya, Timurpos.co.id – Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (30/9/2025), mendadak tegang ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tanjung Perak membacakan tuntutan terhadap terdakwa Abner Uki Oktavian.

Abner dituntut hukuman 12 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah atas kasus tragis yang menewaskan ayah kandungnya, H.M. Saluki.

Sidang yang dipimpin majelis hakim Ernawati ini mengagendakan pembacaan tuntutan. Terdakwa tampak duduk dengan rompi tahanan hijau. Meski berusaha tenang, raut wajahnya terlihat tegang saat tuntutan dibacakan.

Dalam amar tuntutannya, JPU Ida Bagus Made Adi menegaskan bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

“Perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana sesuai dakwaan. Oleh karena itu, kami menuntut pidana penjara selama 12 tahun,” ujar JPU Ida Bagus di hadapan majelis hakim di ruang Tirta PN Surabaya.

Jaksa menilai tindakan Abner bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga melukai nilai sosial dan moral masyarakat, karena melibatkan hubungan darah antara anak dan orang tua.

Sementara itu, tim penasihat hukum terdakwa menyatakan keberatan atas tuntutan tersebut. Mereka menegaskan akan mengajukan pledoi (nota pembelaan) pada sidang berikutnya, dengan alasan masih ada sejumlah fakta persidangan yang patut dipertimbangkan sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Sementara itu, keluarga korban menyesalkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ida Bagus dinilai terlalu ringan padahal jelas itu pembunuhan dan sudah direncanakan oleh terdakwa.

“Harusnya terdakwa dihukum seumur hidup mengingat hukuman Pasal 388 KUHP minimal 15 tahun penjara, ” Katanya selepas sidang.

Dalam surat dakwaan, JPU Ida Bagus Made Adi Saputra menyebut peristiwa bermula pada Sabtu, 5 April 2025 sekitar pukul 00.30 WIB. Saat itu korban M. Saluki mengajak anaknya, terdakwa Abner Uki Oktavian untuk keluar mencari makan dengan mengendarai motor Honda Scoopy L 4735 ACF.

Di perjalanan, terjadi cekcok karena Abner menggadaikan mobil Toyota Fortuner milik ayahnya tanpa izin. Pertengkaran sempat reda ketika mereka singgah di Indomaret Jalan Raya Satelit Indah, namun kembali berlanjut saat melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 01.00 WIB, di Jalan Pattimura depan lahan kosong dekat kantor SCTV, Kecamatan Sukomanunggal, terdakwa emosi karena korban menyinggung istri dan mertuanya. Abner menghentikan motor lalu menyikut wajah ayahnya dengan siku kanan. Korban jatuh, kepalanya membentur beton hingga tidak sadarkan diri.

Terdakwa sempat mengubah posisi tubuh korban, lalu meninggalkannya. Motor dan tas korban ditaruh di Alfamart Jalan Mastrip, sebelum terdakwa pulang ke rumah korban di Jalan Genting, Asemrowo.

Berdasarkan hasil visum RS Bhayangkara Surabaya, korban mengalami luka robek di kepala, memar di wajah dan telinga, patah tulang dasar tengkorak, serta perdarahan di otak. Disebutkan pula ada tanda mati lemas (asfiksia). Penyebab kematian dipastikan akibat kekerasan tumpul di kepala.

Atas perbuatannya, JPU Ida Bagus mendakwa Abner dengan pasal 44 ayat (3) UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, atau pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, atau pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. TOK

Klarifikasi Benjamin Kristianto Terkait Tudingan KDRT dari Terdakwa Meiti Muljianti

Surabaya, Timurpos.co.id – Benjamin Kristianto, yang merupakan suami dari terdakwa dr. Meiti Muljianti, memberikan klarifikasi terkait tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diajukan oleh Meiti dalam persidangan. Dalam kesempatan tersebut, Benjamin menegaskan bahwa tuduhan yang disampaikan oleh Meiti dalam persidangan adalah sepenuhnya tidak benar dan hanya merupakan kebohongan. Jumat (26/9).

Benjamin menjelaskan bahwa Meiti dalam persidangan menyebut dirinya sebagai korban KDRT, yang mengatakan bahwa dirinya dipukul, diludahi, serta dituduh memiliki kelainan seksual dan berhubungan dengan foto perawat. “Semua itu adalah bualan. Hal ini sudah diuji dengan menggunakan alat deteksi kebohongan dan digital forensik di Polda Jatim, yang menghasilkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” tegas Benjamin kepada wartawan.

Kasus Penelantaran dan Kekerasan terhadap Anak

Terkait dengan laporan penelantaran yang sebelumnya dilaporkan oleh Meiti di Polrestabes Surabaya, Benjamin menyebutkan bahwa perkara tersebut juga dihentikan dengan terbitnya SP3. Ia mengungkapkan bahwa Meiti sempat mengambil uang sekitar Rp 200 juta dan pernah melakukan kekerasan terhadap anaknya. “Bahkan, ia berusaha menghilangkan barang bukti berupa rekaman CCTV di rumah,” tambah Benjamin.

Benjamin juga menanggapi tudingan bahwa dirinya ikut campur dalam perkara ini. Ia menyatakan bahwa sidang seharusnya dilakukan secara tertutup jika ada intervensi. Namun, sidang dilaksanakan secara terbuka. “Meiti sudah tiga kali mengajukan gugatan cerai, dan saya berusaha menolaknya. Saya curiga ada pihak ketiga yang terlibat dalam masalah ini, mungkin pria idaman lain (PIL) yang lebih muda,” ungkap Benjamin.

Pernyataan Terdakwa Meiti Muljianti

Di sisi lain, Meiti Muljianti dalam keterangannya menyebutkan bahwa kejadian ini bermula ketika Benjamin mendatangi rumahnya saat ia sedang memasak. Meiti mengaku bahwa Benjamin menciptakan minyak panas di tangannya, kemudian pergi begitu saja. “Saat itu saya dalam keadaan emosi. Beni datang tiba-tiba, dan saya tidak ingat berapa kali menciptakan minyak panas,” kata Meiti.

Meiti mengakui bahwa ia melakukan tindakan tersebut, namun mengklaim bahwa dirinya adalah korban KDRT. “Saya sudah melaporkan hal ini ke Polda Jatim, tetapi saya merasa dipersulit, bahkan dianggap gila dengan adanya tes layar detektor,” ujarnya. Dalam perkara ini, Meiti juga mengungkapkan adanya kekeliruan dalam penyidikan. “Saat saya melaporkan Beni karena penelantaran di Polrestabes Surabaya, tiba-tiba penyidik yang satu ruangan justru mengajukan perkara KDRT,” tambahnya.

Kritik terhadap Proses Hukum

Meiti juga mengkritik proses hukum yang dijalani, mengaku tidak pernah menerima surat pemberitahuan hasil penyidikan dan merasa diperlakukan tidak adil. Ia bahkan menyebutkan bahwa ia ditangkap tanpa pemberitahuan saat mengikuti sidang perceraian di Pengadilan Negeri Sidoarjo. “Saya ini hanya rakyat biasa, sedangkan Beni adalah anggota DPR. Saya bahkan tertular penyakit kelamin, dan pernah disodomi oleh Beni,” ujar Meiti.

Menanggapi pernyataan Meiti yang semakin meluas, majelis hakim menegur terdakwa. “Fokus saja pada dakwaan, jangan sampai melebar ke hal-hal yang tidak relevan. Jika ada masalah lain, laporkan ke pihak yang berwenang,” tegas majelis hakim.

Proses Hukum Lanjut

Hingga kini, perkara yang melibatkan Meiti Muljianti dan Benjamin Kristianto masih terus berjalan. Keduanya terus memberikan pernyataan yang bertolak belakang, sementara proses hukum masih akan terus berlanjut di pengadilan. Tok

Gus Adib Jadi Tersangka ke-7 Kasus Korupsi Dam Kali Bentak, Kejari Blitar Bidik Peran Mak Rini

Blitar, Timurpos.co.id – Tak ada yang kebal hukum. Adib Muhammad Zulkarnain (AMZ) alias Gus Adib, adik dari Kyai Saladin pengasuh Pondok PETA, resmi ditetapkan sebagai tersangka ketujuh dalam kasus korupsi proyek Dam Kali Bentak Kabupaten Blitar yang merugikan negara hingga Rp5,1 miliar.

Kasi Intel Kejari Blitar, Diyan Kurniawan, menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan pada Senin (22/9/2025). “Tersangka AMZ selaku pengarah sekaligus anggota Tim Percepatan Pembangunan dan Inovasi Daerah (TP2ID) Pemkab Blitar diduga turut menerima aliran dana proyek Dam Kali Bentak pada Dinas PUPR tahun 2023,” ujarnya, Kamis (25/9/2025).

Selain menerima aliran dana haram, peran Gus Adib juga disebut ikut mengondisikan terjadinya tindak pidana korupsi. Kasi Pidsus Kejari Blitar, Gede Willy, mengungkapkan bahwa Gus Adib menyerahkan aliran dana dari proyek Dam Kali Bentak kepada terdakwa Muhammad Muchlison (MM) yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. “MM diketahui telah menerima aliran dana sebesar Rp1,1 miliar,” jelasnya.

TP2ID sendiri merupakan tim yang dibentuk mantan Bupati Blitar, Rini Syarifah (Mak Rini), pada periode 2021–2024. Rini disebut menandatangani SK pembentukan TP2ID dan menunjuk sejumlah orang yang dinilai tidak kompeten sebagai anggota. Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.

Dengan semakin terungkapnya peran TP2ID dalam mengondisikan proyek untuk meraup keuntungan, publik menantikan langkah Kejari Blitar berikutnya. Apakah Mak Rini akan ikut dijerat dengan pasal penyalahgunaan jabatan, atau bahkan terbukti menerima aliran dana korupsi?. TOK

Terungkap Fakta Sena Selain Melakukan Kekerasan terhadap Vinna ada Juga ARTnya

Surabaya, Timurpos.co.id – Sidang lanjutan perkara dugaan kekerasan psikis dalam rumah tangga (KDRT) dengan terdakwa selebgram Vinna Natalia Wimpie Widjoyo, S.E. kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan agenda pemeriksaan saksi pelapor, yakni suami terdakwa, Sena. Rabu (24/9).

Dalam persidangan yang dipimpin Majelis Hakim S. Pujiono, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Muzakki dan Siska Chistina menghadirkan Sena untuk memberikan keterangannya.

Sena menjelaskan, perkara rumah tangganya bermula dari laporan Vinna ke Polrestabes Surabaya terkait dugaan KDRT. Laporan tersebut sempat diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) dengan kesepakatan bahwa Sena menyerahkan kompensasi berupa uang Rp2 miliar, biaya keluarga Rp75 juta per bulan, dan sebuah rumah senilai Rp5 miliar.

“Uang dan biaya bulanan sudah saya penuhi, tetapi untuk rumah belum karena dia (Vinna) sendiri yang memilih. Namun, setelah itu Vinna tetap menggugat cerai. Padahal saya lakukan semua itu demi memperbaiki hubungan dan untuk anak-anak,” ungkap Sena di persidangan.

Kuasa hukum terdakwa, Bangkit Mahanantiyo, menyinggung alasan Vinna enggan kembali meski sudah ada kesepakatan damai. Menurut Sena, hal tersebut hanya alasan belaka. Ia bahkan menduga Vinna memiliki orang lain.

Saat ditanya soal tudingan laporan Kekerasan dalam lingkup rumah tangga dari ART maupun dugaan kasus korupsi yang menyeret namanya, Sena menegaskan bahwa dirinya difitnah. “Kasus korupsi itu tidak ada kaitannya dengan saya, perkaranya sudah inkrah. Dan soal anak, saya tidak pernah melarang, hanya saja anak-anak tidak boleh dibawa,” tegasnya.

Pernyataan tersebut langsung dibantah Vinna. Ia menegaskan hingga kini rumah yang dijanjikan belum ada. Soal anak, ia juga mengaku ada surat resmi dari sekolah yang melarang dirinya menemui buah hatinya.

Hakim kemudian menanyakan kemungkinan damai antara keduanya. Sena mengaku masih berharap Vinna kembali demi anak-anak. Namun Vinna merespons dengan ragu. “Siapa yang bisa menjamin keselamatan saya?” ucapnya di hadapan majelis hakim.

Selepas sidang Sena saat dikonfirmasi terkait sidang tadi menegaskan bahwa, kita serahkan pada proses hukum aja, kasian masih ada anak-anak.

Sidang akan kembali digelar minggu depan dengan agenda mendengarkan keterangan anak-anak.

Dalam dakwaan JPU, konflik rumah tangga pasangan ini berawal sejak pernikahan pada 12 Februari 2012 di Gereja Katolik Santo Yohanes Pemandi, Surabaya. Meski dikaruniai tiga anak, hubungan mereka kerap diwarnai pertengkaran hingga memuncak pada Desember 2023, saat Vinna memutuskan meninggalkan rumah dan melaporkan Sena atas dugaan KDRT.

Untuk mempertahankan rumah tangganya, Sena telah menyerahkan uang Rp2 miliar, biaya bulanan Rp75 juta, dan rumah Rp5 miliar. Namun, meski menerima kompensasi tersebut, Vinna kembali menggugat cerai pada 31 Oktober 2024. Konflik panjang itu membuat Sena disebut mengalami gangguan psikis, sebagaimana hasil pemeriksaan RS Bhayangkara Surabaya pada 22 Februari 2025 yang menyatakan ia menderita gangguan campuran cemas dan depresi akibat permasalahan rumah tangga tersebut. TOK

Gunakan Surat Palsu, Soeskah Eny Marwati Dituntut 6 Bulan Penjara

Surabaya, Timurpos.co.id – Soeskah Eny Marwati alias Fransiska Eny Marwati resmi dituntut pidana penjara selama enam bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Basuki Wiryawan dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Tuntutan tersebut dibacakan dalam sidang di ruang Sari 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Rabu (24/9).

JPU Basuki menyatakan terdakwa terbukti bersalah menggunakan surat palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan surat yang dapat menimbulkan kerugian.

“Menuntut terdakwa Soeskah Eny Marwati dengan pidana penjara selama enam bulan,” tegas Basuki di hadapan majelis hakim.

Majelis hakim kemudian memberikan kesempatan kepada terdakwa melalui penasihat hukumnya untuk menyampaikan nota pembelaan (pledoi).

Dalam dakwaan, terungkap bahwa Soeskah diduga membuat surat palsu pada periode Desember 1999 hingga Januari 2000. Perbuatan tersebut baru terungkap pada 2017. Berdasarkan yurisprudensi, perkara ini belum kedaluwarsa karena surat palsu dianggap baru digunakan saat laporan dilakukan.

Surat keterangan palsu dari Kelurahan Ngagelrejo itu digunakan sebagai lampiran memori kasasi oleh terdakwa melalui penasihat hukumnya Sudiman Sidabukke, S.H., C.N., ke Mahkamah Agung (MA). Atas dasar surat tersebut, MA mengabulkan permohonan kasasi Soeskah dan membatalkan putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya yang seharusnya telah berkekuatan hukum tetap.

Akibatnya, saksi Linggo merasa sangat dirugikan karena hak kepemilikan rumah yang semestinya sudah inkracht justru dibatalkan.

Atas perbuatannya, Soeskah didakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP subsider Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan surat yang dapat menimbulkan kerugian. TOK

Inspektorat Bangkalan Diduga Terima Dana Rp250 Juta dari Mantan Kades, Warga Lapor ke Kejari Bangkalan

Bangkalan, Timurpos.co.id – Dugaan penyimpangan dalam proses audit Inspektorat Kabupaten Bangkalan mencuat ke publik. Seorang warga Desa Lombang Laok, Kecamatan Blega, bernama Mahmud, melaporkan adanya dugaan pelanggaran kode etik dan praktik tidak netral oleh oknum aparat Inspektorat saat melakukan pemeriksaan terkait penggunaan Dana Desa (DD) tahun anggaran 2022.

Dalam surat pengaduannya bertanggal 19 September 2025, Mahmud menyebut audit yang dilakukan Inspektorat tidak sesuai prosedur. Pemeriksaan terhadap penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) justru dilaksanakan di kediaman mantan Kepala Desa Lombang Laok periode 2018–2023, Harianto, yang juga diduga sebagai pihak terlapor.

“Seharusnya pemeriksaan dilakukan di tempat netral atau di kantor Inspektorat Bangkalan, agar objektif. Namun ini justru di rumah terlapor. Kami menduga ada keberpihakan,” tegas Mahmud.

Lebih jauh, Makhmud menduga adanya praktik gratifikasi yang menyeret oknum Inspektorat. “Inspektorat diduga terima dana Rp250 juta dari kades lama,” kata Makhmud kepada awak media. Senin (22/9).

Dalam laporan resmi yang ditembuskan ke Inspektorat Jenderal Kementerian PAN-RB, Inspektorat Daerah Jawa Timur, hingga Kejaksaan Agung, Mahmud menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan jabatan. Ia meminta agar dilakukan investigasi ulang di tempat yang netral dan transparan.

“Ini bukan hanya soal teknis audit, tapi soal integritas aparat pengawas. Kami berharap kasus ini ditindaklanjuti agar tidak ada lagi penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat,” imbuhnya.

Terpisah Yahya Rochman selaku Inpektur Pembantu Wilayah V mengatakan bahwa, pemeriksaan dilakukan di rumah kader lama telapor, karena buta wilayah dan diarahkan oleh pihak Camat di rumah Korban.

“Warga jangan kuatir untuk permasalahan ini, pihak kami akan transparan dalam kasus ini,” jelas Yahya.

Disingung adanya dugaan gratifikasi untuk pihak inpektorat oleh pihak telapor (mantan kades) sebesar Rp250 juta. Yahya membatah, gak benar dan nanti boleh dibuktikan mas, kami profesional dan tranparan,” dalihnya. M12

Sidang Perkara Asusila, Kuasa Hukum: Jangan Menghukum Orang Tidak Bersalah

Surabaya, Timurpos.co.id – Kuasa hukum terdakwa Emanuel Wahyudi, Joenus Koerniawan SH MH, menegaskan pihaknya akan terus berjuang maksimal membuktikan kebenaran di hadapan majelis hakim dalam perkara dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak dan pencabulan.

Dalam sidang terbaru, Joenus menyampaikan bahwa pihaknya mencermati secara seksama keterangan saksi korban dan saksi pelapor. Ia menilai fakta yang muncul di persidangan akan diuji kembali pada sidang berikutnya, yang dijadwalkan Kamis mendatang, dengan agenda menghadirkan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Kami berusaha memberikan pembelaan terbaik kepada klien. Prinsipnya, lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah,” ujar Joenus usai sidang, Kamis (18/9/2025).

Senada dengan Joenus, kuasa hukum terdakwa lainnya, yakni Dwi Oktorianto R SH, Albert Kurniawan, Agus Sugianto, dan Missil Balistana, juga menegaskan pentingnya menguji keterangan saksi berdasarkan fakta hukum yang sah. Mereka menilai ada kejanggalan dalam kesaksian, termasuk terkait dugaan cubitan yang disebutkan saksi korban dan pelapor.

Terkait kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam persidangan, Joenus menyatakan keberatan karena permohonan perlindungan tersebut bukan berasal dari pihaknya. “Kami tidak bisa begitu saja menandatangani atau menyetujui langkah tersebut tanpa persetujuan klien. Prinsip kami jelas, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan hukum terdakwa harus didasari persetujuannya,” tegasnya.

Meski demikian, tim kuasa hukum menegaskan komitmennya untuk membuktikan bahwa keterangan saksi tidak sejalan dengan fakta sebenarnya di persidangan.

Sidang perkara ini akan berlanjut pada Kamis depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi tambahan dari JPU. TOK

Supervisor Accounting PT Bina Penerus Bangsa Divonis 2 Tahun 3 Bulan Penjara

Surabaya, Timurpos.co.id – Kasus penggelapan dana perusahaan dengan terdakwa Monica Ratna Pujiastuti akhirnya mencapai babak akhir di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dalam sidang putusan yang digelar Kamis (18/9/2025), majelis hakim menjatuhkan vonis 2 tahun 3 bulan penjara terhadap Monica setelah terbukti bersalah menggelapkan dana perusahaan hingga Rp4,2 miliar.

Perkara ini terdaftar dengan nomor 1456/Pid.B/2025/PN Sby. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim SIH Yuliarti, S.H., bersama hakim anggota Sutrisno, S.H., M.H. dan Silvi Yanti Zulfia, S.H., M.H.. Jaksa Penuntut Umum adalah Estik Dilla Rahmawati, S.H., M.H., sementara kuasa hukum terdakwa dari Maharaja Law Firm, yakni Samsul Arifin, S.H., M.H. (Banyuwangi), Samian, S.H., Ely Elfrida Rahmatullaili, S.H., dan Alfan Syah, S.H.

Dalam dakwaan, Monica yang sejak 2012 menjabat sebagai Supervisor Accounting PT Bina Penerus Bangsa memiliki akses penuh terhadap rekening perusahaan. Kesempatan itu ia salahgunakan dengan mengalirkan dana ke rekening pribadinya.

Antara Maret 2019 hingga November 2022, Monica melakukan 19 kali transfer dengan total Rp1,925 miliar. Selain itu, ia juga memanfaatkan slip kosong yang sudah ditandatangani Direktur Soedomo Mergonoto untuk memerintahkan karyawan melakukan penarikan tunai. Modus ini menyebabkan kerugian tambahan sebesar Rp2,3 miliar.

“Dana yang ditarik tidak digunakan untuk kepentingan perusahaan, melainkan untuk kepentingan pribadi dan investasi trading,” tegas jaksa saat membacakan dakwaan. Secara keseluruhan, perusahaan mengalami kerugian Rp4,225 miliar.

Atas perbuatannya, terdakwa dijerat Pasal 374 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang penggelapan dalam jabatan secara berlanjut. Sebagai alternatif, jaksa juga menyertakan Pasal 372 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sebelumnya, JPU menuntut hukuman 3 tahun 6 bulan penjara. Namun majelis hakim menjatuhkan vonis lebih ringan, yaitu 2 tahun 3 bulan penjara. Setelah putusan dibacakan, majelis hakim menanyakan sikap terdakwa. Dengan singkat, kuasa hukumnya menyatakan, “Saya pikir-pikir dulu, Yang Mulia.” sautnya. TOK

Hakim Pujiono Tolak Eksepsi Selebgram Vinna Natalia

Surabaya, Timurpos.co.id – Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menolak eksepsi atau keberatan dari tim penasehat hukum selebgram cantik Vinna Natalia Wimpie Widjojo, terdakwa kasus dugaan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga terhadap suaminya. Putusan sela tersebut dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim S. Pujiono dalam sidang yang digelar di ruang Kartika PN Surabaya, Rabu (17/9/2025).

“Pada intinya, majelis hakim menolak eksepsi dari penasehat hukum terdakwa dan memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menyiapkan para saksi. Sidang dilanjutkan untuk masuk ke pokok perkara,” tegas Hakim S. Pujiono.

Menanggapi putusan sela tersebut, kuasa hukum terdakwa, Bangkit Mahanantiyo, menyatakan pihaknya menghormati keputusan majelis hakim, meski keberatan mereka ditolak. “Kami akan mempersiapkan materi pembelaan secara maksimal. Bahkan, kami akan bersurat ke Bawas MA, Komisi Kejaksaan RI, dan Komisi Yudisial agar lembaga-lembaga terkait bisa melakukan monitoring jalannya persidangan. Kami berharap nantinya putusan hakim tidak hanya formalistis, tapi juga substantif dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan hati nurani,” jelasnya.

Sementara itu, Vinna Natalia mengaku masih menghadapi kesulitan dalam mengasuh ketiga anaknya, meskipun Pengadilan Agama telah menetapkan hak asuh berada padanya. “Saya harus curi-curi waktu untuk menemui anak saat berangkat atau pulang sekolah. Tapi tetap saja dihalangi bodyguard suami saya,” keluhnya.

Diketahui, konflik rumah tangga pasangan ini telah berlangsung sejak lama. Mereka menikah pada 12 Februari 2012 dan dikaruniai tiga anak. Pertengkaran yang tak kunjung reda membuat Vinna meninggalkan rumah pada Desember 2023, melaporkan suaminya, Sena, atas dugaan KDRT, serta menggugat cerai.

Dalam upaya mempertahankan rumah tangga, Sena sempat memberikan kompensasi berupa uang Rp2 miliar, biaya bulanan Rp75 juta, serta rumah senilai Rp5 miliar, dengan syarat laporan polisi dan gugatan cerai dicabut. Namun meski aset tersebut sudah diterima, Vinna tetap mengajukan gugatan cerai baru pada 31 Oktober 2024.

Akibat konflik berkepanjangan itu, Sena mengalami gangguan psikis. Hasil pemeriksaan RS Bhayangkara Surabaya pada 22 Februari 2025 menyebutkan ia menderita kecemasan dan depresi.

Atas perbuatannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Vinna dengan Pasal 5 huruf b jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sidang akan kembali digelar pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari pihak JPU.

Waduh! Indomaret Dijadikan Transaksi Sabu, Kurir Sabu belum Ketangkap

Surabaya, Timurpos.co.id – Edarkan sabu Henry, anak dari Heni Darmanto diseret di Pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mosleh Rahman dari Kejaksaan Negeri Surabaya. Kini Henry diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Satuan Reserse Narkoba (Resnarkoba) Polrestabes Surabaya menangkap seorang pengedar narkotika jenis sabu bernama Henry, anak dari Heni Darmanto, di depan Indomaret Jalan Karang Empat Besar Nomor 44, Kelurahan Ploso, Kecamatan Tambaksari, Surabaya.

Penangkapan ini dilakukan pada Jumat (16/5/2025) malam sekitar pukul 22.30 WIB setelah polisi menerima informasi masyarakat terkait adanya transaksi narkoba di lokasi tersebut.

Dalam operasi itu, saksi Tri Nofrianto, Dzikrullah Ahmad Kushadi, Agus Supardi, dan Reza Fahlevi, yang merupakan anggota Resnarkoba Polrestabes Surabaya, berhasil mengamankan terdakwa berikut barang bukti. Dari hasil penggeledahan, ditemukan 7 poket sabu dengan berat bervariasi, total mencapai lebih dari 1,29 gram, beserta satu bendel plastik klip, sebuah ponsel, dan uang tunai Rp400 ribu hasil penjualan sabu.

Sementara itu, terdakwa Henry mengatakan bahwa, sabu didapatkan dari Nur Salam sebanyak 2 gram seharga Rp.2,2 juta. Untuk sabu dikrim dengan cara diranjau di dalam Indomaret, kemudian sabu dipecah menjadi 11 Poket.

“4 poket sudah terjual dan sisanya 7 poket belum laku keburu ditangkap Polisi, sekitar 4-5 hari setelah ambil barang,” katanya. Selasa (16/9/2025).

Ia menambahkan bahwa, terdakwa mengaku menyesali perbuatannya.

Majelis Hakim mempertanyakan siapa yang menaruh narkoba di Indomaret, harus ada rekaman cctv.

Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mosleh Rahman dari Kejari Surabaya, terdakwa sebelumnya membeli sabu seberat 2 gram dari seseorang bernama Nur Salam (DPO) seharga Rp2,2 juta. Barang tersebut kemudian dipecah menjadi 11 poket kecil untuk diperjualbelikan dengan harga Rp200 ribu per poket. Sebagian sabu juga sempat dijual terdakwa kepada seorang bernama Dimas (DPO).

Hasil pemeriksaan laboratorium forensik Polda Jatim memastikan seluruh barang bukti sabu yang disita positif mengandung metamfetamina, yang termasuk narkotika golongan I sesuai UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Atas perbuatannya, Henry didakwa telah melanggar Pasal 114 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I. TOK