Surabaya, Timurpos.co.id – Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Jawa Timur, Vabianus Hendrix, mengecam unggahan kontroversial Putra Mahkota Keraton Surakarta, KGPAA Hamangkunegoro, yang menyesalkan bergabung dengan Republik Indonesia. Menurut Hendrix, pernyataan tersebut tidak hanya ahistoris, tetapi juga mengungkap kontradiksi abadi antara feodalisme warisan kolonial yang dipertahankan keraton dengan semangat nasionalisme kerakyatan yang menjadi dasar berdirinya Indonesia.
Kritik Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Jawa Timur, Vabianus Hendrix, terhadap pernyataan Putra Mahkota Keraton Surakarta, KGPAA Hamangkunegoro, bukan sekadar soal ketidaktepatan historis, melainkan juga menguak kontradiksi mendasar antara semangat feodalisme yang dipertahankan keraton dengan nasionalisme kerakyatan yang menjadi fondasi Republik Indonesia. Persoalan ini, menurut Hendrix, bukan hanya retorika politik, tetapi menyentuh jantung identitas bangsa: apakah Indonesia dibangun untuk rakyat atau untuk melanjutkan warisan hierarki kolonial?
Feodalisme vs Nasionalisme Kerakyatan: Dua Kutub yang Bertolak Belakang
Hendrix menegaskan, klaim keistimewaan Surakarta yang diusung Keraton Solo bersumber dari *vorstenlanden*—status istimewa warisan Hindia Belanda yang diberikan kepada kerajaan-kerajaan Jawa sebagai “mitra” penjajah. Sistem ini menciptakan elite feodal yang bertindak sebagai perpanjangan tangan kolonial, menguasai tanah dan rakyat dengan legitimasi adat yang dikendalikan Belanda.
“Ini bertentangan dengan semangat nasionalisme kerakyatan 1945 yang lahir dari gerakan massa anti-penjajahan, anti-feodal, dan mengusung kedaulatan rakyat sebagai prinsip tertinggi,” tegas Hendrix. Selasa (04/03/2025).
Ia menggarisbawahi bahwa Revolusi Agustus 1945 tidak hanya mengusir penjajah, tetapi juga membongkar sistem swapraja (pemerintahan kerajaan) yang dianggap sebagai parasit kolonial. Di Solo, gerakan rakyat yang dipimpin Tan Malaka dan kelompok revolusioner pada November 1945 menuntut pembubaran Keraton Surakarta sebagai entitas politik.
“Rakyat bergerak karena lelah ditindas dua kali: oleh kolonial Belanda dan oleh feodalisme lokal yang hidup dari pajak dan kerja paksa,” papar Hendrix.
Nasionalisme Kerakyatan: Semangat yang Mengubur Feodalisme
Menurut Hendrix, integrasi Kasunanan Surakarta ke Indonesia pada 1946 melalui Penetapan Pemerintah No. 16/SD bukan hadiah dari keraton, melainkan hasil tekanan gerakan rakyat yang menginginkan pemerintahan egaliter. “Status keistimewaan keraton dicabut pada 1946 karena tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. Yang diakui hanya kebudayaan, bukan kekuasaan politik,” ujarnya.
Di sini, kontradiksi muncul: Keraton Solo, melalui narasi “kekecewaan”, secara implisit ingin mengembalikan hak-hak istimewa yang justru bertentangan dengan cita-cita republik. “Feodalisme mengajarkan rakyat untuk tunduk pada simbol dan darah biru, sementara nasionalisme kerakyatan mengajarkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Ini dua hal yang tidak bisa didamaikan,” tegas Hendrix.
Mengapa Ahistoris?
Hendrix menjelaskan, klaim Keraton Solo mengabaikan fakta bahwa rakyat Jawalah yang memilih membubarkan sistem swapraja. Pada 1945-1946, aksi-aksi pengambilalihan tanah keraton dan pembentukan pemerintahan lokal di Solo menunjukkan penolakan terhadap feodalisme. “Jika keraton hari ini merasa berjasa pada Indonesia, itu harus diingat: jasa terbesar mereka justru ketika meleburkan diri ke republik dan melepaskan hak-hak politiknya. Bukan malah mengungkit-ungkit keistimewaan kolonial,” tegasnya.
Ia juga mengkritik pembelaan bahwa keraton “kecewa” pada persoalan bangsa. “Jika ada ketimpangan sosial hari ini, itu justru karena oligarki dan sisa-sisa feodalisme yang bertahan, bukan karena republik gagal. Jangan jadikan kekecewaan sebagai dalih untuk merongrong konsensus sejarah bahwa Indonesia adalah negara kesatuan berbasis kedaulatan rakyat,” tambahnya.
Warisan yang Harus Diperjelas: Budaya vs Kekuasaan
Hendrix menegaskan, pihaknya tidak menafikan peran keraton sebagai pelestari budaya. “Yang kami tolak adalah upaya mengubah keraton kembali menjadi kekuatan politik dengan narasi nostalgia kolonial. Budaya Jawa bisa hidup tanpa harus menyuburkan feodalisme,” ujarnya.
Ia mengingatkan, di era demokrasi, legitimasi kekuasaan datang dari rakyat melalui pemilu, bukan dari garis keturunan atau warisan kolonial. “Pernyataan yang mempertentangkan kontribusi keraton dengan nasionalisme adalah pengkhianatan terhadap revolusi 1945. Saat itu, ribuan petani dan buruh Solo berkorban bukan untuk memulihkan tahta, tapi untuk membangun negara yang setara,” tegas Hendrix yang juga alumni Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini.
Penutup: Revolusi Belum Selesai
Polemik ini membuktikan bahwa revolusi Indonesia belum sepenuhnya tuntas. Feodalisme mungkin telah kehilangan kekuatan politiknya, tetapi mentalitasnya masih hidup dalam bentuk romantisme sejarah yang diputihkan. Nasionalisme kerakyatan, yang diusung oleh para pejuang republik, harus terus dijaga sebagai benteng melawan segala bentuk pemujaan hierarki kolonial. Sebab, seperti diingatkan Hendrix,
“Indonesia lahir dari rahim perjuangan rakyat, bukan dari restu keraton-keraton yang dulu menjadi kaki tangan penjajah.” Bebernya. FER