Ahli Hukum Pidana
Prof Dr H Sardjono SH MH, saat memberikan pendapat di PN Surabaya
Surabaya, Timurpos.co.id – Sidang permohonan pembatalan pengampuan yang diajukan oleh Francisca terhadap Harjanti Hudaya terus berlanjut di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (23/10/2023).
Dalam persidangan kali ini, tim kuasa hukum Termohon menghadirkan Dokter Nining Febriyana, dokter yang merawat Harjanti Hudaya selama menjalani perawatan di RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Di hadapan Majelis Hakim, dokter Nining membenarkan bahwa dirinyalah yang bertugas merawat Harjanti Hudaya sebagai pasien sakit jiwa.”Iya benar, saya yang menangani Ibu Harjanti,” katanya.
Dokter Nining lantas menjelaskan bagaimana kondisi awal Harjanti saat pertama kali menjalani opname di Psikiatri Jiwa.
“Awalnya saat opname (Harjanti) dalam kondisi depresi yang berat. Kalau ditanya jawabannya selalu lupa dan kondisinya menangis terus. Dia juga tidak bisa menceritakan apa-apa lagi. Kalau ditanya selalu lupa,” lanjutnya.
Ditanya oleh tim kuasa hukum Termohon, Joko Cahyono sejak kapan dokter Nining menerima pasien bernama Harijanti dengan diantar oleh Petugas dari Kepolisian Polda Metro,?
“Sejak Tanggal 31 Desember 2021. Saat itu dia datang ke rumah sakit pada pagi hari dan saya terima dalam kondisi drop karena depresinya kambuh,” jawabnya.
Terkait Visum Et Repertum, dokter Nining menyatakan dikeluarkan pihak rumah sakit berdasarkan permintaan dari Kepolisian.
Ditanya lagi oleh Joko Cahyono, dari skala 1 sampai 10, bagaimana sih kondisi Harijanti saat ini seperti apa?
“Terakhir hari Selasa pekan lalu, kondisinya sedang drop, depresinya kambuh. Bahkan menangis saja. Skalanya sekitar 8,” jawabnya.
Saat Joko Cahyono kembali melontarkan pertanyaan apakah bisa Harjanti mempertangungjawabkan, Nining menyebut tidak bisa.
“Kalau kondisinya seperti sekarang ini ya tidak bisa. Dia mengalami Bipolar, kadang merasa kadang sedih. Dominan pasien yang mengalami Bipolar tidak mengenal realita lagi. Kronisnya merasa berasalah, merasa tidak berguna dan puncaknya dapat mengancam jiwa, yakni bunuh diri,” jawabnya.
Sementara itu, saat Andy Darti, kuasa hukum Pemohon bertanya apakah sebagai dokter, Nining mengetahui tentang Permenkes Nomor 77 Tahun 2015. Nining menjawab tidak mengetahui Permenkes tersebut.
Sementara Ahli Hukum Pidana
Prof Dr H Sardjono SH MH, juga Dosen Universitas Bhayangkara Surabaya berpendapat bahwa, terkait pengapuan yang terpenting digunakan untuk apa. Permohonan pengampuan untuk waris atau tindak Pidana lainnya itu ada dua secara pribadi dan secara Intasi (untuk kepentingan Hukum).
Disingung oleh Kuasa Hukum dari pengugat Ir. Andy Darti SH apabila disini pengampu statusnya ada tersangka dan pihak intasi (Polda Metro Jaya) meminta bukti visium dan anehnya bukti visium itu yang mendapatkan adalah pihak pengampu dan lebih satu bulan lamanya.
Ahli menjelaskan bahwa, saya mendengar sendiri kalau pengampuan itu ada peristiwa pidananya. Menurut konsep hukum apabila perbuatan pidana dilakukan sebelum mendapatakan pengampuan (ganguan jiwa) bisa dikatakan itu normal, berdasarkan Pasal 44 KUHP, Perma. Pertanyaan selanjutanya pertangungjawaban kapan, mesti tetap harus dibawa ke Pengadilan, natinya pihak Majelis Hakim yang menilai.
“Mestinya terampu tetep dibawa ke pengadilan, karana perbuatan pidananya dilakukan sebelum memdapatkan pengampuan,” kata Ahli.
Masih kata ahli tetkait waktu untuk bukti visum bisanya 14 hari setelah surat dikirimkan dan bisa diperpanjang atas persetujuhan dari penyidik dan bukti visum harusnya dikirim dari lembaga ke lembaga.
Perlu diketahui, Francisca mengajukan permohonan pembatalan pengampuan terhadap Justini Hudaja. Permohonan diajukan setelah sebelumnya PN Surabaya mengabulkan Justini Hudaja sebagai pengampu dari Harjanti Hudaya, tersangka kasus dugaan penipuan dan penggelapan.
Harjanti Hudaya ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan dan penggelapan oleh Polda Metro Jaya bersama suaminya yakni Subandi Gunadi. Harjanti dan suaminya ditetapkan sebagai tersangka atas laporan Francisca. Tok