Surabaya, Timurpos.co.id – Polemik kepemilikan lahan di kawasan Darmo Hill, Surabaya, kembali memanas. Hal ini menyusul klaim yang diajukan oleh Pertamina ke ATR/BPN 1 Surabaya berdasarkan dokumen peninggalan kolonial Belanda, eigendom verponding No. 1278, yang disebut mencakup wilayah Wonokitri, termasuk sebagian area Darmo Hill.
Menanggapi hal tersebut, Dedy Prasetyo, SH, MH, selaku kuasa hukum atau legal dari Darmo Hill, menegaskan pihaknya siap menempuh jalur hukum untuk melindungi hak para penghuni.
“Kami sadar banyak penghuni yang resah. Kami pun merasakan hal yang sama. Sudah banyak masyarakat yang menjadi korban karena BPN tidak bisa menjalankan fungsinya, terutama ketika warga hendak memperpanjang atau balik nama sertifikat,” ujar Dedy, Senin (7/10/2025).
Dedy menjelaskan, berdasarkan hasil pengecekan pihaknya di BPN 1 Surabaya, status lahan Darmo Hill tidak diblokir, melainkan hanya terindikasi sebagai bagian dari eigendom verponding lama.
“Lahan kami hanya sekitar 20 hektare, termasuk tanah milik Pemkot Surabaya seperti fasilitas umum (fasum). Kalau klaim Pertamina mencapai 220 hektare, berarti kawasan seperti Mal Sutos dan Hotel Shangri-La juga termasuk,” tegasnya.
Menurut Dedy, permasalahan ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak tahun 2015, klaim Pertamina sudah pernah muncul. Namun, BPN 1 Surabaya masih memberikan pelayanan administratif kepada warga, seperti perpanjangan dan balik nama sertifikat. Baru pada pertengahan tahun 2025, pelayanan tersebut dihentikan.
“Padahal, sebagian besar penghuni sudah memiliki surat resmi seperti SHM atau SHGB. Jadi aneh jika sekarang muncul klaim baru dengan dasar dokumen kolonial yang seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Kami harap BPN bersikap konsisten,” tambahnya.
Terkait adanya sejumlah warga yang memilih menempuh jalur politik dengan menggandeng partai PSI, Dedy menilai hal itu merupakan hak pribadi masing-masing. Namun, pihaknya menegaskan Darmo Hill akan tetap fokus melalui proses hukum.
Sementara itu, keresahan warga semakin meningkat. Sertifikat yang selama ini menjadi simbol legalitas dan jaminan keuangan kini seolah tak bernilai. Beberapa warga mengaku tidak dapat mengurus roya (pencoretan hak tanggungan) atau take over kredit ke bank lain karena status lahan dianggap “terblokir”.
“Sekarang jangankan roya, mau take over ke bank lain saja sudah ditolak. Sertifikat yang seharusnya bernilai, jadi seperti kertas biasa,” keluh Suryo Purnomo, Ketua RT 04 Darmo Hill.
Sebagai bentuk protes, warga berencana memasang spanduk besar menuntut kejelasan status lahan mereka. Namun di sisi lain, mereka khawatir aksi tersebut dapat menimbulkan kepanikan dan menurunkan harga tanah.
“Kami serba salah. Kalau diam, seolah membiarkan hak kami diambil. Kalau ribut, harga tanah bisa jatuh,” pungkas Suryo. Tok