Timur Pos

DPD Kongres Advokat Indonesia Jawa Timur Berikan Penyuluhan Dan Konsultasi Hukum Secara Gratis Kepada Ratusan Tahanan Di Medaeng

Sidoarjo, Timurpos.co.id – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Timur menyelenggarakan kegiatan Penyuluhan Hukum dan Konsultasi Hukum Gratis di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Surabaya, Selasa 1 Juli 2025.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-17 KAI serta Hari Anti Narkotika Internasional (HANI).

Kegiatan ini mengusung tema “Stop Narkotika Mulai dari Sekarang” dan bertujuan memberikan edukasi hukum sekaligus meningkatkan kesadaran warga binaan terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika.

Acara dibuka secara resmi dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sambutan disampaikan oleh Kepala Rutan Kelas I Surabaya, Bapak Tomi Elyus, Amd.I.P., S.Sos., SH., M.Si., yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Kepala Seksi Pelayanan Tahanan, Bapak Muhammad Ridla Gorjie Amd.IP., S.H.

“Kegiatan seperti ini sangat berdampak bagi warga binaan kami, karena selain memberikan edukasi hukum, mereka juga merasa diperhatikan secara manusiawi. Ini sangat berharga bagi proses pembinaan mereka,” ujar Gorjie dalam sambutannya.

Sambutan juga disampaikan oleh Presidium Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KAI, Dr. Rizal Haliman, SH., MH., yang menegaskan pentingnya peran advokat dalam pengabdian kepada masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti warga binaan serta yang memberikan dukungan penuh terhadap penyelenggaraan kegiatan ini sebagai wujud nyata komitmen organisasi advokat dalam membangun kesadaran hukum.

Sebagai simbol sinergitas antara KAI dan Rutan, dilakukan penyerahan vandel dari DPD KAI Jawa Timur kepada pihak Rutan Kelas I Surabaya, dilanjutkan dengan sesi foto bersama.

Sesi penyuluhan hukum disampaikan langsung oleh Adv. Dr. Fajar Rachmad Dwi Miarsa, SH., MH. dan Adv. Moch Cholik Al Muchlis, SHI., yang menjelaskan secara rinci mengenai dampak hukum dan sosial dari penyalahgunaan narkotika, serta pentingnya peran hukum dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Kegiatan dilanjutkan dengan konsultasi hukum gratis oleh tim advokat DPD KAI Jawa Timur. Para warga binaan diberikan kesempatan untuk berkonsultasi langsung terkait permasalahan hukum yang dihadapi, dengan pendekatan personal dan humanis.

Kegiatan ditutup dengan pembacaan doa oleh Adv. Abdul Rahman Misbakhun Nafi’, SH., serta harapan bersama agar kegiatan serupa dapat terus dilakukan secara berkelanjutan.

Melalui kegiatan ini, Kongres Advokat Indonesia kembali menegaskan komitmennya sebagai organisasi profesi yang tidak hanya aktif di ruang sidang, tetapi juga hadir di tengah masyarakat sebagai mitra dalam mencerdaskan kehidupan hukum bangsa. M12

Komplotan Pengiriman TKI Ilegal Terbongkar di Surabaya, Dua Warga Negara Asing Diadili

Foto: Para tedakwa memdengarkan dakwaan dari JPU

Surabaya, Timurpos.co.id – Praktik ilegal pengiriman tenaga kerja ke luar negeri kembali terbongkar. Kali ini, tiga orang terdakwa — dua di antaranya warga negara Nepal, diseret ke meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (30/6/2025). Mereka adalah Bakhat Bahadur B.K, Satyam Kumar, dan Lia Taniati yang didakwa sebagai bagian dari jaringan kejahatan keimigrasian internasional.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siska Chistiani dan Galih Riyana Putra dari Kejaksaan Negeri Surabaya dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan membeberkan fakta mengejutkan. Kasus ini mencuat setelah petugas Imigrasi Kelas I Khusus TPI Surabaya menerima laporan adanya dugaan pelanggaran keimigrasian di Jl. Kendangsari I, Surabaya pada Desember 2024.

Saat dilakukan penggerebekan, petugas menemukan enam pria asal Nepal, di mana tiga di antaranya tidak dapat menunjukkan paspor karena dokumen mereka dipegang oleh Bakhat Bahadur. Dari hasil interogasi terungkap bahwa total ada 17 warga negara Nepal yang masuk ke Indonesia menggunakan visa wisata dan izin tinggal terbatas (ITAS).

“Para korban dijanjikan akan diberangkatkan ke Eropa, seperti Ceko, Lithuania, dan Hungaria untuk bekerja dengan gaji antara 1.000 hingga 1.500 Euro per bulan,” ujar JPU Siska di ruang sidang Sari 2 PN Surabaya.

JPU juga membeberkan bahwa para korban direkrut langsung dari Nepal oleh Bakhat Bahadur dan seorang rekannya bernama Lekhnat Prasai. Para korban membayar antara 1.500 hingga 2.500 USD, baik secara tunai maupun melalui transfer ke rekening para terdakwa dan jaringan perantara di Indonesia.

“Setibanya di Indonesia, para korban ditampung di sejumlah tempat di Surabaya, Jakarta, dan Bali yang dikoordinasikan oleh terdakwa Lia Taniati dan Satyam Kumar,” imbuh Siska.

JPU Galih menambahkan bahwa dokumen visa dan izin tinggal yang digunakan 17 WNA Nepal tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya. Mereka tidak memiliki kontrak kerja resmi di negara tujuan. Bahkan, perusahaan yang digunakan sebagai sponsor visa, seperti PT. Harsa Aksa Amerta, terbukti tidak memiliki kegiatan usaha nyata.

“Para terdakwa memanfaatkan jalur wisata untuk mengirim orang ke luar negeri dengan maksud bekerja, tanpa dokumen legal. Perbuatan mereka melanggar Pasal 120 Ayat (2) UU No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,” terang Galih.

Modus ini menjadi cerminan masih maraknya sindikat perdagangan orang dengan kedok pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Selain itu, praktik ini juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap visa wisata dan penyalahgunaan izin tinggal.

Menanggapi dakwaan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa yang diketuai Sugianto menyatakan akan mengajukan eksepsi.

“Kami ajukan eksepsi atas dakwaan dari penuntut umum,” ucap Sugianto singkat usai sidang.

Sidang perkara ini akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan eksepsi dari pihak terdakwa. TOK

Buntut Kecelakan Maut Keluarga Korban Tuntut Tanggung Jawab dari Perusahaan Outsourcing PT Wings Surya

Surabaya, Timurpos.co.id – Kecelakaan lalu lintas tragis terjadi di Jalan Raya Demak, Surabaya, pada Selasa pagi, 7 Mei 2025, sekitar pukul 08.00 WIB. Insiden melibatkan sepeda motor (R2) yang dikendarai oleh NA (19), warga asal Bangkalan, dan sebuah mobil box bermuatan milik PT Surya Indo Mandiri, perusahaan outsourcing yang bekerjasama dengan PT Wings Surya.

Akibat kejadian tersebut, NA mengalami luka berat dan dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya pada dini hari, sekitar pukul 12.30 WIB.

Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, keluarga korban mengaku belum mendapatkan kejelasan maupun bentuk pertanggungjawaban dari pihak pengemudi maupun perusahaan. Hal ini disampaikan langsung oleh kakak korban, Moh Zainuri, kepada awak media 27 Juni 2025 lalu.

“Sudah hampir dua bulan berlalu, tapi belum ada kepastian dari pihak perusahaan. Driver memang sempat tawarkan santunan lima juta rupiah, tapi kami anggap itu tidak pantas dibandingkan dengan kehilangan nyawa saudara kami,” ungkap Zainuri dengan nada sedih.

Menurutnya, kondisi mobil box hanya mengalami kerusakan ringan, sementara keluarganya harus kehilangan orang tercinta. Ia pun mempertanyakan tanggung jawab moral dari perusahaan atas peristiwa tersebut.

Pihak PT Surya Indo Mandiri, saat dikonfirmasi, membenarkan adanya tawaran santunan dari sopir, namun menegaskan bahwa perusahaan tidak ikut campur dalam urusan kecelakaan kerja karena ada klausul risiko dalam perjanjian kerja dengan karyawan.

“Kami bukan tidak mau tanggung jawab. Tapi memang itu (Rp 5 juta) yang disanggupi driver. Kalau soal perusahaan, itu bukan ranah kami, tapi akan kami coba ajukan lagi ke atasan,” ujar salah satu perwakilan perusahaan yang enggan disebut namanya.

Di sisi lain, menurut salah satu narasumber hukum, perusahaan tetap berkewajiban memberikan santunan kepada keluarga korban, mengacu pada Pasal 1367 KUH Perdata yang menyatakan bahwa atasan bertanggung jawab atas perbuatan bawahan selama dalam jam kerja. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab moril dalam kasus kecelakaan yang melibatkan karyawannya saat bekerja.

Sementara itu, pihak Satlantas Polrestabes Surabaya, saat dikonfirmasi pada 29 Juni 2025, menyatakan bahwa mereka akan segera melakukan mediasi antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil dan bermartabat.

“Kasus ini masih kami tangani, dan dalam waktu dekat akan dilakukan mediasi antara pihak keluarga korban dengan pihak perusahaan,” ujar petugas Satlantas.

Keluarga korban berharap keadilan dapat ditegakkan dan perusahaan menunjukkan empati serta tanggung jawab atas musibah yang terjadi. TOK

Izin Proyek Galian Kabel Telkom di Jalan Raya Malang Pasuruan Dipertanyakan

Foto: Diduga Okunum Polisi Turut Hadir Mengawasi Proyek Galian kabel Telkom

Pasuruan, Timurpos.co.id – Proyek penggalian kabel primer milik PT Telkom Indonesia yang berlangsung di sepanjang Jalan Raya Malang–Pasuruan kini tengah menjadi sorotan publik. Kegiatan penggalian yang dilaksanakan oleh perusahaan kontraktor PT Putri Ratu Mandiri, pimpinan H. Moch. Ali Saeb, disinyalir belum mengantongi izin resmi dari instansi pusat, meski berada di jalur yang dikategorikan sebagai jalan Provinsi.

Pantauan di lapangan menunjukkan aktivitas penggalian aktif di sepanjang Jalan Kartini, Kota Pasuruan. Ketika dikonfirmasi terkait perizinan, salah satu pekerja menunjukkan dokumen dari PT Putri Ratu Mandiri. Namun, setelah diklarifikasi, dokumen tersebut ternyata hanya berupa surat pemberitahuan kepada Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Kabupaten Pasuruan serta Polres Pasuruan, bukan izin resmi dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) sebagaimana yang disyaratkan oleh regulasi.

“Kalau itu jalan nasional atau jalan provinsi, izinnya harus dari pusat. Bukan cukup dari Pemkab. Ini patut dipertanyakan,” ujar salah seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya.

Ahmad, perwakilan waspang dari pihak Telkom, membenarkan adanya surat pemberitahuan yang diajukan. Ia beralasan bahwa titik pekerjaan sesuai dengan koordinat GPS yang berada dalam wilayah administratif desa. Meski begitu, ia tak membantah bahwa ada surat pemberitahuan.

Sementara itu, Sholeudin, koordinator lapangan proyek, menyatakan bahwa pekerjaan di Jalan Raya Malang–Pasuruan sudah memiliki izin. Namun ketika ditanya lebih lanjut soal surat yang hanya berupa pemberitahuan, ia membenarkan bahwa itu memang bukan izin dari instansi pusat, melainkan pemberitahuan kepada Polres dan Dinas Bina Marga Kabupaten. “Kami juga diawasi langsung oleh waspang dari Telkom di lapangan,” ujarnya. Minggu (29/06/2025).

Sholeudin juga menyinggung maraknya pencurian kabel primer yang marak terjadi dengan modus serupa. Ia menegaskan bahwa proyek ini resmi dan pihaknya tidak mengambil kabel lama. “Kami hanya menyisir jalur untuk pemasangan baru. Barang resmi kami peroleh langsung dari Telkom,” tegasnya.

Untuk diketahui bahwa, Dalam dokumen yang ditunjukkan, panjang galian mencapai 2.400 meter dengan kedalaman 0,9 meter dan lebar 0,8 meter, mencakup sekitar 250 titik lubang.

Ketidaksesuaian prosedur perizinan ini memunculkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan pelaksana terhadap aturan yang berlaku. Publik kini menanti klarifikasi resmi dari pihak Telkom dan instansi terkait agar tidak menimbulkan spekulasi serta potensi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan proyek tersebut. M12/TOK

LSM KPK Nusantara Resmi Laporkan Oknum Penyidik Polresta Sidoarjo ke Propam: Diduga Gelapkan Barang Bukti

Sidoarjo, Timurpos.co.id – Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh oknum penyidik Satreskrim Polresta Sidoarjo berinisial AT kini memasuki babak baru. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KPK Nusantara secara resmi melaporkan kasus ini ke Seksi Propam Polresta Sidoarjo pada Sabtu, 28 Juni 2025.

Pelaporan tersebut dilakukan langsung oleh perwakilan LSM, Suhaili, yang datang ke Mapolresta Sidoarjo guna menyerahkan dokumen pengaduan masyarakat (Dumas) kepada Kapolresta Sidoarjo, Kasi Propam, dan Kasat Reskrim melalui Kasium.

“Kami menduga kuat telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh penyidik berinisial AT. Bahkan, ada indikasi penggelapan barang bukti senilai ratusan juta rupiah. Lebih aneh lagi, penadah barang curian justru hanya dijadikan saksi, bukan diproses secara hukum,” tegas Suhaili saat ditemui usai pelaporan.

Suhaili juga menyoroti lambatnya penanganan kasus oleh Propam Polresta Sidoarjo. Ia membandingkan dengan penanganan cepat oleh Propam Polrestabes Surabaya dalam kasus pemerasan mahasiswa yang langsung diproses dalam waktu 1×24 jam.

“Oknum penyidik AT sudah mengakui bahwa alat loketer tidak dilimpahkan ke persidangan sebagai barang bukti, ini sudah cukup jadi dasar untuk tindakan. Kami desak agar Kapolresta Sidoarjo, Kombes Pol Christian Tobing, beserta Kasi Propam segera memproses pelanggaran ini secara hukum dan etik,” tambah Suhaili.

Menurut Suhaili, tindakan penyidik AT dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan barang bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 230 KUHP. Selain itu, tindakan tersebut juga diduga melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian sesuai Pasal 10 ayat 2 huruf h Perpol Nomor 7 Tahun 2022.

Suhaili berharap, pimpinan Polresta Sidoarjo mampu menunjukkan ketegasan dalam menindak pelanggaran oleh anggotanya demi menjaga marwah institusi Polri.

“Kami percaya bahwa di bawah kepemimpinan Kombes Pol Christian Tobing, Polresta Sidoarjo mampu membuktikan bahwa penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu dan Polri tetap bersih serta dipercaya masyarakat,” pungkasnya. M12

Iptu Yoyok Herdianto Berkomitmen Menciptakan Pasuruan Bersinar

Pasuruan, Timurpos.co.id – Usai berhasil menangkap 2 orang pengedar narkoba dengan barang bukti 34 poket narkoba golongan 1 jenis sabu, Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Pasuruan terus bergerak untuk membersihkan pengaruh narkoba di Wilayah Hukum Polres Pasuruan.

Menjelang peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) Tahun 2025, tepatnya pada hari Sabtu (21/06/2025), Satresnarkoba Polres Pasuruan kembali berhasil menangkap seorang pengedar narkoba golongan 1 jenis sabu.

Kali ini, seorang pengedar yang berhasil ditangkap oleh petugas kepolisian yang khusus menangani narkoba yakni, seorang pria berinisial PAR warga Dsn. Betro, Ds/Kel. Wonosunyo, Kec. Gempol Kab. Pasuruan.

Dari tangan pengedar sabu berusia 30 tahun tersebut, petugas Satresnarkoba Polres Pasuruan berhasil mengamankan barang bukti 16 poket paket hemat (Pahe) sabu siap edar.

Kasat Resnarkoba Polres Pasuruan, Iptu Yoyok Herdianto, S.H., M.H., kepada awak media menerangkan bahwa, pengedar sabu tersebut merupakan salah satu Target Operasi (TO) Satresnarkoba Polres Pasuruan.

“Setelah dilakukan pengintaian, akhirnya pengedar sabu ini berhasil kami tangkap beserta barang buktinya. Kita akan lakukan pengembangan untuk menangkap pengedar sabu yang lebih besar lagi. Dan komitmen kami akan tetap sama yakni menciptakan Pasuruan Bersih dari Narkoba (Bersinar),” ungkap Iptu Yoyok, Sabtu (28/06/2025) siang.

Sementara itu, Kapolres Pasuruan, AKBP Jazuli Dani Iriawan sangat mengapresiasi kinerja anggotanya, khususnya Satresnarkoba yang terus bergerak tanpa lelah menangkap para pengedar sabu.

“Saya pribadi dan atas nama institusi akan terus memberikan support kepada anggota Satresnarkoba untuk terus menangkap para pengedar sabu sehingga impian dan cita – cita kita semua untuk menciptakan Pasuruan Bersih dari Narkoba (Bersinar) dapat terwujud. Tentunya semua ini untuk masa depan para generasi penerus bangsa ini,” tegas Kapolres Pasuruan.

Selain dari Kapolres Pasuruan, kinerja Satresnarkoba Polres Pasuruan juga mendapat apresiasi dari Bupati Pasuruan, Bapak H.M. Rusdi Sutejo. Beliau sangat berterimakasih kepada Kapolres Pasuruan, AKBP Jazuli Dani Iriawan beserta anggotanya yang terus bekerja keras memberantas peredaran narkoba di Pasuruan.

“Terimakasih kepada Bapak Kapolres, AKBP Jazuli Dani Iriawan beserta jajarannya atas kerja kerasnya telah berusaha memberantas narkoba di Pasuruan. Semoga masa depan para generasi bangsa yang ada di Pasuruan ini benar-benar dapat cerah karena tidak terpengaruh dengan narkoba,” pungkasnya. TOK/*

Sensus Sampah Plastik BRUIN Ungkap Dalang Pencemaran: Produsen Diminta Bertanggung Jawab, Regulasi Diminta Diperkuat

Surabaya, Timurpos.co.id — Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) merilis hasil Sensus Sampah Plastik, audit sampah plastik terbesar dan paling komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia. Kegiatan ini melibatkan 156 mitra, 976 relawan, dan menjaring 76.899 sampah plastik dari 92 lokasi di 49 kabupaten/kota di 30 provinsi selama periode 2022–2024.

Koordinator Sensus, Muhammad Kholid Basyaiban, SH, menyatakan bahwa hasil audit membuktikan pencemaran plastik di perairan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. “Kami mengambil sampel dari 35 sungai, 17 pantai, dan 2 titik mangrove. Hasilnya, tidak ada satu pun sungai yang benar-benar bebas dari sampah plastik, yang seharusnya jadi perhatian serius sesuai PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPLH,” ungkap Kholid. Kamis (26/06/2025).

Data lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar sampah plastik berasal dari kemasan sachet sekali pakai, kantong kresek, dan botol minuman. BRUIN juga membeberkan lima besar produsen yang paling banyak mencemari lingkungan berdasarkan merek yang ditemukan, yakni:

Unbranded (234 item) – kantong plastik, sedotan, styrofoam, dan cup tanpa merek
Wings (114 item) – produk seperti So Klin, Sedaap, Mama Lime, Ale-ale, Teh Rio
Indofood (Fx) – produk Indomie, Pop Mie, Club, Bumbu Racik
Mayora (74 item) – Teh Pucuk Harum, Energen, Roma, Kopiko
Unilever (64 item) – Royco, Rinso, Sunsilk, Sunlight
Melalui laporan bertajuk “Sensus Sampah Plastik: Mengungkap Fakta, Menggerakkan Aksi,” BRUIN menyerukan agar para produsen bertanggung jawab atas sampah pascakonsumsi dan berkontribusi nyata dalam pengurangan sampah hingga 30 kali lipat pada tahun 2029, sebagaimana target yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Namun, BRUIN menilai regulasi tersebut belum berjalan efektif. Partisipasi produsen masih minim, pengawasan lemah, dan belum ada sanksi tegas bagi pelanggar. Alih-alih mengganti kemasan ke bentuk ramah lingkungan, banyak produsen justru hanya melakukan modifikasi tanpa mengurangi dampak polusi plastik.

Kepala Departemen Teknik Lingkungan ITS, Dr. Susi Agustina Wilujeng, ST., MT, menegaskan bahwa tanggung jawab terbesar justru ada pada produsen, bukan semata pada konsumen. “Jangan hanya berharap pada perubahan perilaku konsumen. Harus ada kebijakan tegas yang memaksa produsen bertanggung jawab,” tegasnya.

Senada, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq, saat membuka Pameran Lingkungan Hidup bertema “End Plastic Pollution” (22/6), menyatakan bahwa pemerintah akan memperkuat sistem hukum yang mewajibkan implementasi EPR (Extended Producer Responsibility), lengkap dengan sanksi administratif hingga pidana.

BRUIN dalam laporannya juga menyampaikan 6 strategi utama untuk memutus rantai pencemaran plastik:

Larangan plastik sekali pakai sulit daur ulang seperti sachet Penerapan sistem reuse dan pengurangan kemasanPajak disinsentif untuk produk sekali pakaiInsentif bagi inovasi kemasan berkelanjutanPengadaan hijau oleh pemerintah dan industri Implementasi tegas skema EPR. “Perang melawan polusi plastik harus dimulai sekarang,” seru Kholid.

“Kami berharap hasil sensus ini membuka mata semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat—bahwa krisis plastik nyata, dan penanganannya harus dimulai dari sumbernya.”katanya. ***

Wahyudi Bantah Terima Uang Suap, Kuasa Hukum: Klien Kami Dijadikan Kambing Hitam

Foto: Penasehat hukum terdakwa, Muhammad Ridlwan, SH,

Surabaya, Timurpos.co.id – Persidangan kasus korupsi proyek Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan kembali memanas. Kamis (26/6/2025), ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya dipenuhi ketegangan ketika saksi Rio Dedik menyebut memberikan uang kepada terdakwa Drs. Moch. Wahyudi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut.

Rio mengaku menyerahkan dana total Rp12,5 juta, Rp3,5 juta atas perintah “Bu Eka” dan Rp9 juta disebut sebagai fee untuk pihak dinas. Namun, ia tak bisa memastikan apakah uang Rp9 juta itu benar-benar diterima langsung oleh Wahyudi.

Wahyudi membantah keras tudingan tersebut. “Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah menerima uang dari siapa pun dalam proyek itu,” ujarnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Ni Putu Sri Indayani, SH.

Penasehat hukum terdakwa, Muhammad Ridlwan, SH, didampingi Ainur Rofik, S.HI, menilai kliennya sekadar dijadikan “tumbal” oleh pihak lain yang lebih bertanggung jawab dalam aspek teknis:

“Uang itu bukan untuk Pak Wahyudi secara pribadi. Itu diserahkan setelah seluruh pekerjaan selesai dan katanya untuk pegawai dinas yang membantu saksi,” jelas Ridlwan.

“Kerugian negara Rp92 juta yang diungkap BPK bersumber dari selisih volume pekerjaan persoalan teknis, bukan administratif. Seharusnya kontraktor dan tim teknis lebih dulu diproses,” tegasnya.

Kuasa hukum juga mempersoalkan penyidik yang menolak permintaan uji poligraf dan psikologi forensik guna memastikan siapa sebenarnya yang tidak jujur dalam proyek tersebut.

Dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), proyek RPHU merugikan negara Rp92 juta. Pihak ketiga (kontraktor) disebut telah dimintai pertanggungjawaban.

Ridlwan menambahkan, Wahyudi tidak tahu-menahu praktik “pinjam bendera” yang diduga dilakukan Kliennya. “PPK hanya pengendali umum. Pengurusan detail lapangan ada pada PPTK dan tim teknis. Kalau ada bendera pinjaman, PPK jelas tidak mengetahuinya.”sambungnya.

Majelis Hakim menunda persidangan dan menjadwalkan sidang pembuktian berikutnya pada Kamis, 3 Juli 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan. Ridlwan berharap proses persidangan dapat membuka seluruh fakta tanpa tebang pilih.

“Jangan sampai perkara ini seperti pepatah ‘orang buang air, orang lain disuruh menyeka.’ Kami ingin semua terang-benderang agar keadilan benar-benar ditegakkan,” pungkasnya. TOK

Diduga Peras Mahasiswa Rp10 Juta, Anggota Polsek Tandes Blabas Bui

Surabaya, Timurpos.co.id – Polrestabes Surabaya telah menahan Bripka Hengky, anggota Polsek Tandes, setelah dilaporkan melakukan dugaan pemerasan terhadap dua mahasiswa. Insiden itu terjadi Kamis malam (19/6).

Kejadian bermula dua mahasiswa, KV (23) bersama teman laki-lakinya RA (23), menghadiri undangan pernikahan di Krian. Saat perjalanan pulang, mobil mereka mengalami senggolan dengan pengendara sepeda motor di exit tol Pondok Candra. Setelah menyelesaikan masalah, mereka melanjutkan perjalanan.

Tak jari di lokasi senggolan, mereka berhenti mengecek lagi kondisi mobil. Belum lama masuk mobil, tiba-tiba ada dua orang boncengan sepeda motor berhenti di depan mobilnya. Salah satu dari mereka berseragam polisi, sedangkan yang lain berbaju bebas. Mereka menggebrak-gebrak mobil.

Dua laki-laki itu mengatakan sedang melakukan operasi. Dua korban dicurigai melakukan macam-macam di dalam mobil. Korban yang dalam kondisi kebingungan,
Bripka Hengky kemudian masuk ke dalam kursi kemudi mobil dan mengajak dua mahasiswa ke Polda Jatim.

Namun, bukannya dibawa ke Polda Jatim. Keduanya justru diajak berputar-putar ke arah Wonokromo dan Ketintang. Tak jauh dari Excelso Ahmad Yani, oknum itu meminta uang Rp10 juta. Setelah tawar-menawar, oknum menurunkan menjadi Rp7 juta. Karena korban hanya memiliki uang di ATM sebesar Rp650 ribu, akhirnya uang itu diterima si oknum polisi.

Tak hanya itu, ATM milik korban juga dirampas sebagai ‘jaminan pelunasan’ sisanya, dan mereka diminta menyediakan uang tambahan keesokan harinya pukul 17.00. Atas kejadian tersebut, ayah KV, Jumadi membuat laporan ke Propam Polda Jatim pada Jumat (20/6) malam.

“Anak saya diam-diam memfoto oknum itu. Saya cetak buat lampiran untuk laporan,” ungkap Jumadi.

Kapolsek Tandes, AKP Julkifli Sinaga, membenarkan bahwa Briptu Hengky adalah bawahannya. Pihaknya juga telah melakukan interogasi. “Memang betul yang bersangkutan melakukan, kemudian kami berkoordinasi dengan pimpinan dan Propam Polrestabes,” ungkapnya. Kasus itu sudah ditindaklanjuti. “Perkembangan lanjut ke Kasihumas,” ucap Julkifli.

Kasihumas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi, membenar bahwa pihaknya hanya mendapat laporan terhadap Bripka HP alias Hengky. Oknum polisi itu sudah diamankan. Namun, tidak diketahui nasib satu orang yang datang bersama Bripka Hengky saat melakukan dugaan pemerasan. “Kami hanya dapat laporan soal inisial HP saja,” tandasnya. TOK

Menyikapi Revisi UU Narkotika: Jangan Ulangi Kegagalan, Saatnya Letakkan Pendekatan Kesehatan di Pusat Kebijakan

Jakarta, Timurpos.co.id – Di tengah peringatan Hari Narkotika Internasional yang jatuh pada 26 Juni 2025, Indonesia masih terjebak dalam pendekatan usang dan punitif seperti “perang terhadap narkotika”. Celakanya, Indonesia tak pernah belajar terkait dampak negatif dari pendekatan itu.

Padahal, data dan berbagai pengalaman global telah berulang kali menunjukkan bahwa pendekatan itu bukan hanya gagal, tapi juga berkontribusi signifikan pada pelanggaran HAM, kelebihan kapasitas di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia, dan meminggirkan hak-hak pengguna narkotika serta kelompok rentan lainnya.

Bukan hanya itu, alih-alih mengedepankan pendekatan kesehatan, Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang berlaku saat ini juga masih menempatkan pengguna narkotika sebagai pelaku kriminal. Itu ditandai dari masih gencarnya pendekatan penjara yang digunakan negara kepada pengguna narkotika.

Mengutip data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per Desember 2024, total penghuni rutan/lapas yakni sebanyak 264.131 orang, sementara kapasitasnya hanya berkisar untuk 136.444 orang. Ini artinya telah terjadi overcrowding Rutan/Lapas sebesar 93,57%. Sementara per Juni 2025, terdapat 268.718 orang menjadi penghuni Rutan/Lapas, padahal kapasitasnya hanya untuk 138.128 orang. Hal tersebut menunjukkan adanya overcrowding Rutan/Lapas sebesar 94,56%.

Selain itu, hampir 52% penghuni Rutan/Lapas merupakan tahanan kasus narkotika. Data Laporan Kinerja Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2024 menunjukkan, setidaknya terdapat 140.474 orang yang terindikasi sebagai pengguna narkotika.

Hal ini menandakan bahwa pengguna narkotika tidak diintervensi berbasis pendekatan kesehatan, melainkan dikriminalisasi melalui penghukuman. Padahal paradigma penghukuman dapat memperburuk kondisi mereka. Mereka tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan, mengikuti rehabilitasi secara sukarela, bahkan kehilangan harapan terkait kehidupan yang lebih baik. Kriminalisasi adalah kebijakan yang gagal, dan sudah saatnya dihentikan.

Dalam momentum Hari Narkotika Internasional tahun 2025 ini, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) meminta kepada pemerintah Indonesia untuk segera mengedepankan pendekatan kesehatan dalam proses penyusunan kebijakan narkotika, termasuk dalam revisi UU Narkotika yang sedang bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dengan memperhatikan poin-poin sebagai berikut:

*Pertama*, ubah paradigma UU Narkotika dari penghukuman ke kesehatan. Sebab, selama lebih dari dua dekade, Indonesia telah menjalankan kebijakan narkotika yang keras namun tidak efektif. Pengguna tetap membludak, penjara penuh sesak, dan program rehabilitasi berjalan tanpa arah yang jelas. Ribuan orang, bahkan remaja, dijatuhi pidana penjara hanya karena memiliki atau mengonsumsi narkotika dalam jumlah kecil, di mana mereka seringkali tidak dipisahkan dari pengedar atau pelaku kriminal lainnya.

Kondisi ini menciptakan siklus penderitaan yang tidak menyelesaikan akar masalah soal ketergantungan. Ketika seorang pengguna dipenjara tanpa dukungan, ia bukan hanya kehilangan kebebasannya, tapi juga kehilangan peluang untuk pulih. Ketika ia keluar, stigma masyarakat dan minimnya dukungan membuat risiko kekambuhan (relapse) semakin tinggi. Revisi UU Narkotika saat yang sedang bergulir harus bisa menjawab permasalahan ini.

Mengingat UU Narkotika saat ini kembali masuk dalam agenda legislasi nasional tahun 2025, Pemerintah dan DPR juga harus memiliki kemauan politik (political will) yang besar dan komitmen penuh untuk berubah secara fundamental dalam menyusun aturan yang berdampak besar terhadap ribuan pengguna tersebut.

*Kedua*, Pemerintah dan DPR harus memasukan aspek dekriminalisasi bagi pengguna narkotika dalam pembahasan revisi UU Narkotika. Dekriminalisasi bukan berarti melegalkan narkotika secara bebas, melainkan menghentikan pemidanaan terhadap individu yang memiliki dan menggunakan narkotika untuk konsumsi pribadi, dan mengalihkan pendekatannya ke ranah kesehatan dan sosial. Hal ini dapat diwujudkan melalui skema kesehatan dan perbaikan ketentuan pidana dalam revisi UU Narkotika.

Langkah konkret berbasis bukti ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Portugal dan Swiss, bahkan Malaysia yang kini berani mengambil pendekatan non-penal berbasis komunitas. Kebijakan ini dapat menurunkan angka overdosis, angka HIV terkait penggunaan jarum suntik, dan berkurangnya beban penjara, serta meningkatkan partisipasi dalam program rehabilitasi sukarela.

*Ketiga*, revisi UU Narkotika harus memberikan kesempatan agar narkotika digunakan untuk kepentingan kesehatan. Proses revisi UU Narkotika yang kini dibahas di DPR semestinya tidak lagi memposisikan narkotika hanya dalam kerangka pidana, tetapi juga dalam kerangka hak atas kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Jika Indonesia benar-benar serius menciptakan sistem kesehatan yang adil dan berbasis bukti ilmiah, maka revisi UU Narkotika harus mengakomodir pemanfaatan narkotika untuk riset dan pengobatan, dengan menekankan pada prinsip kehati-hatian dan regulasi yang ketat, bukan justru melakukan pelarangan secara menyeluruh.

*Keempat*, revisi UU Narkotika juga harus memperbaiki permasalahan mendasar tentang akuntabilitas pelaksanaan kebijakan narkotika utamanya sering terjadi kasus penjebakan kepemilikan narkotika, hal ini dikarenakan hukum acara mengenai kewenangan untuk melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung (undercover buying) dan penyerahan di bawah pengawasan (control delivery), dan tes urine tidak diatur dengan batasan yang jelas.

*Kelima*, Pemerintah harus membuka ruang-ruang alternatif bagi pengguna narkotika untuk meningkatkan kualitas hidup mereka selain menggunakan pemidanaan dan rehabilitasi. Konsep rehabilitasi sebagai alternatif pemidanaan yang selama ini digaungkan dan digunakan oleh Pemerintah masih berfokus pada pemutusan ketergantungan narkotika, sehingga menghasilkan rehabilitasi yang lebih mengarah pada rawat inap dan bukan peningkatan kualitas hidup bagi pengguna narkotika.

Pada beberapa kasus, kami menemukan banyak tempat-tempat rehabilitasi yang memanfaatkan celah alternatif pemenjaraan menjadi sarana eksploitasi ekonomi untuk memeras pengguna narkotika. Revisi UU Narkotika perlu menitikberatkan perspektif pengurangan dampak buruk (harm reduction) di mana ukuran efektivitas program dilihat bukan semata dari berhentinya seseorang menggunakan narkotika, tetapi juga melihat berkurangnya dampak sosial, kesehatan, dan ekonomi yang negatif atas penggunaan narkotika.

*Keenam*, penting untuk membuka ruang bagi masyarakat sipil dan akademisi dalam pelibatan bermakna dalam pembahasan perubahan dan penentuan arah kebijakan narkotika. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang seluas-luasnya dan menciptakan dialog-dialog bermakna dengan melibatkan masyarakat sipil, sehingga kebijakan narkotika yang lahir dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta berlandaskan pada basis bukti ilmiah yang akuntabel.

*Ketujuh*, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XVIII/2020, yang mengamanatkan pemerintah agar dilakukan riset ilmiah terhadap ganja medis untuk perlindungan hak atas kesehatan warga negara. Pelaksanaan riset ganja medis ini bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat.

Dalam menghadapi kebingungan regulatif terkait langkah awal penelitian ganja medis, Pemerintah Pusat dapat mempertimbangkan Provinsi Aceh sebagai lokasi percontohan (pilot project) untuk penelitian ganja medis. Pilihan ini bukan tanpa dasar, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dapat menunjang pembangunan nasional, termasuk di bidang kesehatan serta mendukung pelestarian warisan budaya Aceh.

Pada tahun 2023, bersamaan dengan dilakukannya Focus Group Discussion (FGD) Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Provinsi Aceh melalui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menunjukkan langkah progresif melalui Surat Keputusan DPRA No. 24 Tahun 2023, yang menetapkan usulan Rancangan Qanun tentang Legalisasi Ganja Medis sebagai bagian dari Program Legislasi Daerah (Prolegda) Tambahan Aceh Tahun 2024.

DPR RI dan Pemerintah dalam menyusun Revisi UU narkotika dapat berkoordinasi dengan DPRA Provinsi Aceh untuk membahas regulasi dan legalisasi ganja medis sebagai urgensi perintah konstitusional (in casu ganja) mengenai penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan ganja medis.***