Foto: ilustrasi Aksi
Sidoarjo, Timurpos co.id – Penanganan kasus pencurian Kabel Tanam Tanah Langsung (KTTL) atau kabel primer milik PT Telkom Indonesia oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Sidoarjo mulai menuai sorotan tajam. Dari belasan pelaku yang terlibat dalam aksi ini, hanya tiga orang yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, sementara pihak-pihak lain yang juga diduga terlibat justru luput dari jerat hukum. Sabtu (21/06/2025).
Peristiwa pencurian itu terjadi pada Selasa malam, 14 Mei 2024, di Desa Keper, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo. Terdakwa I, Zeth Bara, diduga sebagai otak aksi kejahatan ini. Ia menghubungi Hendy Priyatama, terdakwa II yang menjabat sebagai pengawas lapangan di PT Graha Sarana Duta anak perusahaan Telkom untuk membuat dokumen palsu berupa Surat Perintah Kerja (SPK) dan Nota Dinas, seolah-olah ada proyek pengangkatan kabel di wilayah STO Gedangan, Gempol, dan Beji.
Dokumen fiktif tersebut dijanjikan Hendy dengan imbalan 30 persen dari hasil penjualan kabel curian. Dokumen itu kemudian digunakan untuk merekrut terdakwa III, Abd. Muntholib, serta saksi Machfud Johan Efendi. Meski mengetahui dokumen itu tidak sah dan tidak ditandatangani pejabat resmi Telkom, mereka tetap melanjutkan aksi.
Pada 9 Mei 2024, komplotan ini bersama sekitar 12 orang lainnya menggali dan memotong kabel menggunakan dua unit mobil Mitsubishi L-300 serta alat-alat berat seperti linggis, gergaji besi, dan cangkul. Kabel hasil curian tersebut dijual kepada pasangan suami istri Toyibin dan Isamiyah melalui perantara bernama Imam Basori dengan total transaksi mencapai Rp120 juta.
Pembagian hasil penjualan kabel curian itu masing-masing: Zeth Bara menerima Rp36,25 juta, Hendy Priyatama Rp35 juta, Abd. Muntholib Rp11,87 juta, dan saksi Machfud Johan Efendi Rp5,75 juta. Namun, aksi mereka terendus aparat. Pada 14 Mei 2024 malam, ketiganya berhasil diamankan oleh petugas Polresta Sidoarjo.
Majelis Hakim PN Sidoarjo menjatuhkan vonis 8 bulan penjara kepada ketiga terdakwa. Namun, vonis ini justru menimbulkan pertanyaan dan kritik karena tidak menyentuh pelaku lainnya.
Kejanggalan Proses Hukum
Publik mempertanyakan mengapa Toyibin dan Isamiyah yang menjadi pembeli kabel curian serta Imam Basori sebagai perantaranya hanya berstatus saksi. Padahal, transaksi yang mereka lakukan bernilai ratusan juta rupiah. Ketiganya tidak tersentuh jeratan hukum.
Selain itu, Hendy Priyatama yang berperan membuat dan menggunakan dokumen palsu tidak dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, tetapi hanya dikenai pasal pencurian secara bersekutu. Padahal, unsur pidana pemalsuan cukup kuat dalam perkara ini.
Tak hanya itu, muncul pula dugaan adanya penghilangan barang bukti berupa loketer salah satu bagian penting dari kabel yang dikabarkan raib saat proses penyidikan. Saat dikonfirmasi, salah satu penyidik bernama Anton membantah tudingan itu.
“Tidak hilang, mas. Masih ada dan disimpan di kantor,” katanya singkat.
Namun, seorang praktisi hukum yang enggan disebutkan namanya menilai bahwa penghilangan barang bukti, bila benar terjadi, merupakan pelanggaran serius dalam sistem peradilan.
“Barang bukti adalah kunci pembuktian di pengadilan. Jika ada yang disembunyikan atau dihilangkan, ini sudah masuk ranah pelanggaran etik bahkan pidana,” ujarnya.
Desakan Evaluasi Penyidikan
Sorotan publik dan tekanan dari kalangan praktisi hukum mendorong agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyidikan kasus ini. Pengawas internal Polri dan Kejaksaan diharapkan turun tangan untuk mengaudit kembali perkara ini secara independen guna memastikan tidak ada penyidik atau aparat yang bermain dalam proses penanganan.
Kasus ini menjadi refleksi penting tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Keadilan tidak hanya dilihat dari vonis yang dijatuhkan, tetapi juga dari sejauh mana seluruh pihak yang terlibat dalam kejahatan dapat dimintai pertanggungjawaban secara adil dan menyeluruh. TOK