Surabaya, Timurpos.co.id – Persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Umbuldamar Tahun Anggaran 2021 kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Surabaya. Sejumlah saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengungkap dugaan praktik penggelembungan anggaran dan pembuatan nota fiktif yang melibatkan Kepala Desa dan Bendahara Desa Umbuldamar.
Saksi Fahturrosi selaku Ketua BPPD Umbuldamar dalam keterangannya mengaku dipanggil terkait dugaan penyalahgunaan Dana Desa tahun 2021. Ia menyebut, Mugiono menjabat sebagai Bendahara Desa saat itu. Menurutnya, beberapa kegiatan yang tercantum dalam laporan pertanggungjawaban tidak pernah dilaksanakan di lapangan, seperti kegiatan pengajian desa dan peningkatan kapasitas pemerintah desa.
Fahturrosi juga menyoroti pengadaan pembelian lahan parkir untuk wisata kolam renang. Ia mengatakan pihaknya hanya dilibatkan pada tahap perencanaan, namun tidak pernah dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. “Perencanaan dilakukan oleh Irfan dan awalnya disepakati boleh digunakan, namun setelah muncul permasalahan, kegiatan itu dinyatakan tidak diperbolehkan,” ujarnya.
Terkait aliran dana, saksi mengungkap adanya penyerahan uang sebesar Rp 75 juta dari Mugiono kepada Sugito, sementara sisanya tidak diketahui peruntukannya. Selain itu, disebutkan dana Rp 18 juta untuk pembangunan bronjong, namun Fahturrosi menegaskan tidak pernah menerima uang tersebut.
Dalam sidang juga terungkap pemotongan honor guru desa sebesar Rp 50 ribu per bulan dengan alasan pajak. Biaya operasional kegiatan yang seharusnya Rp 500 ribu, menurut saksi, hanya diterima Rp 250 ribu saat pelaksanaan.
Sejumlah saksi dari pihak penyedia barang dan jasa turut memberikan keterangan. Iman Hambali, pemilik Queen Print, mengaku pernah bekerja sama terkait pembuatan spanduk dengan harga Rp 25 ribu per meter, padahal harga normal spanduk ukuran 1×3 meter sekitar Rp 75 ribu. Ia juga menyebut masker Covid-19 dihargai Rp 400 ribu per boks dan menegaskan tidak pernah memberikan bon kosong.
Sementara itu, Bayu Frasa, pemilik Toko Dian Pustaka, menyatakan tidak pernah bekerja sama dengan Pemerintah Desa Umbuldamar dan tidak pernah bertemu dengan kedua terdakwa, meski namanya tercantum dalam nota senilai Rp 4,5 juta dan Rp 8,5 juta. Hal senada disampaikan Nurliaan, pemilik Toko Hidayah, yang mengaku pernah menjual barang ke desa namun tidak pernah datang langsung ke kantor desa dan tidak pernah memberikan nota kosong.
Saksi lainnya, Sutrisno dari Toko Bangunan Raya, menyebut tidak pernah melayani pembelian besi wermes untuk desa. Hamin Junaidi, penyedia jasa sewa ekskavator, mengaku menyewakan alat berat untuk perataan tanah kolam renang dengan biaya sekitar Rp 27 juta untuk 72 jam kerja, namun tidak mengetahui secara pasti hasil fisik pekerjaan tersebut.
Saiful dari UD Sumber Rejeki mengungkap pernah dimintai stempel oleh pihak desa untuk keperluan perizinan. Ia menyebut nilai dalam nota mencapai Rp 175 juta, padahal nilai riil pekerjaan hanya sekitar Rp 6 juta. Fakta ini menguatkan adanya penggelembungan nota yang kemudian dibenarkan oleh para terdakwa dalam persidangan.
Dalam dakwaan yang dibacakan, Terdakwa I Maskurroji selaku Kepala Desa Umbuldamar dan Terdakwa II Mugiono selaku Bendahara Desa didakwa secara bersama-sama menyalahgunakan kewenangan dalam pengelolaan APBDes 2021. Maskurroji diduga meminta dana desa tanpa usulan penggunaan yang jelas, kemudian membuat bukti pertanggungjawaban tidak sesuai kondisi sebenarnya dengan cara mengisi nota fiktif dan membubuhkan stempel buatan pribadi agar seolah-olah asli.
Perbuatan tersebut diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Akibat perbuatan itu, negara disebut dirugikan, dengan Terdakwa I diduga memperkaya diri sendiri sebesar Rp 175.409.180,91 dan Terdakwa II sebesar Rp 59.322.708,16.
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Marcus tersebut masih akan berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan. Tok







