Singgih Tomi Gumilang,SH.,MH.,
Jakarta, Timurpos.co.id – Dalam rangka mendukung upaya peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat, Koalisi CBD et al. Indonesia secara resmi menyerahkan dokumen Policy Brief bertajuk “Urgensi Perbaikan Sistem Medis di Indonesia: Reklasifikasi Penggolongan Cannabidiol [CBD] untuk Kebijakan yang Berkeadilan” kepada Komisi XIII, Komisi IX, dan Komisi III DPR RI, serta kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, secara daring melalui surat elektronik. Senin (28/10/2024).
Dokumen ini dirancang untuk memberikan wawasan dan pemahaman komprehensif mengenai pemanfaatan CBD dalam dunia medis, dengan harapan dapat menjadi bahan pertimbangan utama dalam revisi Undang-Undang Narkotika.
Policy Brief ini menguraikan tinjauan ilmiah terkini mengenai manfaat Cannabidiol [CBD] bagi kesehatan, serta memuat studi kasus dari negara-negara yang telah melegalkan penggunaan Cannabidiol [CBD] untuk pengobatan medis.
“Kami menyusun dokumen ini dengan cermat untuk membuka wawasan pemerintah dan masyarakat, tentang peran potensial Cannabidiol [CBD] dalam mendukung kesehatan publik secara lebih luas,” ujar Henny Aryani, peneliti yang telah menyelesaikan studi magisternya di Mahidol University, Bangkok, Thailand, dengan tesis bertema “Mengkaji Potensi Legalisasi Ganja Medis di Indonesia: Analisis Perbandingan Kerangka Regulasi.”
Koalisi CBD et al. Indonesia sendiri merupakan gabungan dari Yayasan Advokasi Bantuan Hukum [SIBAKUM], Yayasan Advokasi Rakyat Aceh [YARA], Yayasan Orbit Surabaya [YOS], Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jendela Keadilan [LBH JK], Yayasan Kuldesak, Yayasan Pantura Plus, dan Forum Akar Rumput Indonesia [FARI] yang berfokus memberikan dukungan hukum dan advokasi terkait revisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terutama dalam upaya merelaksasi aturan penggolongan tanaman obat yang berasal dari cannabis sativa, seperti Cannabidiol [CBD].
“Saat ini, seluruh genus-genus cannabis dan derivatifnya seperti Cannabidiol [CBD] diklasifikasikan sebagai Narkotika Golongan I nomor urut 8, yang otomatis membatasi akses kesehatan dan menghambat penelitian medis berbasis Cannabidiol [CBD]. Klasifikasi ini tidak hanya membatasi akses kesehatan tetapi juga menghalangi kesempatan untuk melakukan tahapan uji klinis Cannabidiol [CBD] di Negara Republik Indonesia,” jelas Singgih Tomi Gumilang, advokat yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, dengan disertasi berjudul “Dekonstruksi Hukum Legalisasi Ganja Medis Demi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia Atas Pelayanan Kesehatan.”
Sebagai bagian dari advokasi, Koalisi CBD et al. Indonesia juga bekerja sama dengan para ilmuwan dan para cendekiawan, guna memperluas wawasan mengenai manfaat terapeutik dari tanaman obat, terutama Cannabidiol [CBD].
Dengan ini, Koalisi CBD et al. Indonesia berharap dokumen Policy Brief berikut dapat memberikan sumbangan nyata terhadap peningkatan sistem medis di Negara Republik Indonesia, serta menjadi langkah penting menuju revisi kebijakan narkotika yang lebih adil dan berpihak pada kesehatan setiap orang.
Tentang Koalisi CBD et al. Indonesia
Koalisi CBD et al. Indonesia adalah kolaborasi antara Yayasan Advokasi Bantuan Hukum [SIBAKUM], Yayasan Advokasi Rakyat Aceh [YARA], Yayasan Orbit Surabaya [YOS], Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jendela Keadilan [LBH JK], Yayasan Kuldesak, Yayasan Pantura Plus, dan Forum Akar Rumput Indonesia [FARI] yang bertujuan untuk memfasilitasi pengetahuan dan advokasi hukum mengenai penggolongan dan pemanfaatan Cannabidiol [CBD] di Negara Republik Indonesia. Koalisi ini berdiri sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan masyarakat untuk akses kesehatan yang lebih baik melalui pemanfaatan ganja medis yang berkelanjutan dan berkeadilan. TOK/*