Jakarta, Timurpos.co.id — Kasus dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kini memasuki tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI. Namun, muncul pertanyaan besar tentang lemahnya pengawasan dari Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi potensi penyimpangan anggaran. Rabu (16/07/2025).
Dalam sebuah kajian formal berbasis hukum dan kriminologi, disebutkan bahwa telah terjadi indikasi kelalaian struktural oleh Irjen yang masih menjabat lintas dua periode kepemimpinan menteri. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP, serta Permendikbudristek No. 45 Tahun 2019, fungsi utama Irjen adalah melakukan pengawasan internal, deteksi dini, dan audit atas pengelolaan anggaran kementerian.
“Dengan kewenangan seluas itu, sangat tidak logis jika proyek raksasa bernilai hampir Rp10 triliun bisa luput dari pantauan Irjen,” ungkap kajian tersebut.
Mengacu pada teori kriminologi seperti Systemic Corruption (Johnston), Organizational Crime dan White-Collar Crime (Sutherland), kegagalan sistem pengawasan internal dalam institusi negara dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan struktural. Hal ini berarti, institusi yang lalai atau membiarkan terjadinya penyimpangan juga bisa dimintai pertanggungjawaban secara moral maupun hukum.
Lebih lanjut, kajian menyebutkan bahwa Irjen gagal menjalankan tiga fungsi utamanya:
1. Gagal mendeteksi potensi mark-up dalam pengadaan perangkat digital,
2. Tidak mengambil tindakan preventif, meskipun anggaran disalurkan ke wilayah rawan penyimpangan,
3. Tidak menerbitkan rekomendasi audit yang seharusnya menjadi dasar peringatan dini.
Dari sisi hukum, Irjen dapat dijerat melalui:
Pasal 421 KUHP terkait penyalahgunaan wewenang,
Pasal 3 dan 9 UU Tipikor, yang mengatur sanksi atas kelalaian dalam pengawasan keuangan negara,
Serta UU Ombudsman No. 37 Tahun 2008 tentang maladministrasi, termasuk pengabaian kewajiban hukum.
Rekomendasi yang diajukan:
Dilakukannya audit investigatif atas kinerja Inspektorat Jenderal oleh Kejaksaan Agung,
Pemanggilan oleh Komisi X dan Komisi III DPR RI untuk meminta klarifikasi tanggung jawab struktural,
Perluasan penyidikan terhadap pejabat internal yang diduga melakukan pembiaran sistematis.
Penutup kajian menyatakan: “Jika korupsi sebesar Rp9,9 triliun bisa terjadi tanpa pengawasan, tetapi individu di luar ASN diperiksa habis-habisan oleh Irjen, maka fungsi pengawasan telah tergelincir menjadi alat represi personal, bukan lagi penjamin akuntabilitas publik. Ini adalah kemunduran dalam penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan.”
Kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam menguatkan kembali fungsi pengawasan internal serta mendorong Kejaksaan untuk tidak hanya menyasar pelaku teknis, namun juga membongkar potensi kejahatan sistemik dalam birokrasi pemerintahan. ***