Surabaya, Timurpos.co.id – Dua pengacara, Indra Ari Murto dan Riansyah, diadili di Pengadilan Negeri Surabaya. Keduanya dituding menggelembungkan tagihan tidak sesuai fakta saat mengajukan surat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap PT Hitakara. Jaksa Penuntut Umum, Uyab Dilla dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menuntut mereka dengan hukuman penjara selama 2 tahun di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Penggelembungan utang yang dilakukan diduga mencapai Rp 1,5 miliar rupiah. Sebelumnya, pengacara Viktor Bachtiar juga diadili dalam kasus ini dan menerima vonis Ontslag setelah dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman 2 tahun penjara.
Menurut amar dakwaan, PT Hitakara, yang bergerak di bidang real estate, mengoperasikan Hotel Tijili Benoa dengan 270 kamar. Sebagian dari kamar tersebut, yakni 60 kamar, dikerjasamakan dengan Linda Herman, Tina, dan Nofian Budianto. Ketiganya kemudian dibuatkan surat perjanjian bagi hasil dengan PT Tiga Sekawan Benoa, sebagai pengelola hotel
Sistem bagi hasil menggunakan rumusan total pendapatan hotel tiap tahun dikurangi total pendapatan pengelolaan unit hotel, lalu dikurangi total pengeluaran non-operasional hotel. Dari angka yang diperoleh, 10 persen diserahkan kepada Linda Herman dan rekan-rekannya.
Namun, Linda mengaku tidak pernah menerima pendapatan bagi hasil dari pengelolaan Hotel Tijili Benoa sejak tahun keempat hotel tersebut mulai beroperasi. Viktor Bachtiar dan dua rekan sejawatnya kemudian diberi kuasa oleh Linda dan melakukan upaya PKPU.
Para terdakwa tidak mengikuti rumusan yang telah ditetapkan dalam surat perjanjian bagi hasil antara penyewa dan pengelola. Viktor Sukarno Bachtiar menghitung dengan caranya sendiri, yaitu menggunakan perhitungan Return on Investment (ROI) untuk tahun keempat (2019), tahun kelima (2020), tahun keenam (2021), dan tahun ketujuh (2022), yaitu sebesar 10% secara flat.
Penggunaan rumus ROI membuat tagihan menggelembung. Linda Herman tercatat dalam PKPU dengan utang Rp 458 juta, tetapi hasil audit menunjukkan hanya Rp 9,9 juta. Tina tercatat Rp 553 juta dengan audit Rp 11 juta, dan Nofian Budianto Rp 543 juta dengan audit Rp 11 juta.
Abdul Salam, pengacara Indra dan Riansyah, berpendapat bahwa, tuntutan dua tahun terlalu berat, karena yang melakukan perhitungan adalah Viktor Sukarno Bachtiar, sementara dua kliennya hanya turut serta. Meskipun demikian, Viktor mencantumkan nilai tagihan bukan sembarangan, yaitu menggunakan rumus ROI.
“Sistem ROI digunakan karena Viktor berulang kali meminta laporan keuangan hingga dua kali somasi, namun PT Hitakara tidak memenuhi permintaan tersebut,” ujarnya.
Abdul Salam menyatakan akan mengajukan pledoi untuk membatalkan tuntutan dua tahun. PT Hitakara, melalui pengacaranya, R Primaditya Wirasandi, mengaku kecewa dengan putusan pailit dan vonis Ontslag Viktor. Dia memastikan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Perlu diperhatikan berdasarkan pandangan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Ahli Kepailitan, Prof. Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H. menuturkan, “Bahwa dalam undang-undang terdapat Corrective Justice, keadilan untuk mengoreksi apabila salah. Hal tersebut juga terdapat dalam PKPU dan Pailit , namun dengan corak yang berbeda. Sebagai contoh, seseorang mengajukan piutang dan debitur membantah hutang tersebut tidak benar lalu mengajukan keberatan kepada hakim pengawas, akhirnya hakim pengawas yang akan memutuskan mengeluarkan penetapan. Apabila dalam penetapan tersebut dinyatakan memang hutang debitur berarti hutang tersebut adalah sah.
Hadi Subhan kemudian menjelaskan bahwa dalam hal mengenai adanya Mark Up tagihan/penggelembungan tagihan, perlu diingat bahwasanya dalam pencocokan hutang dipimpin secara langsung oleh Hakim pengawas dan melalui proses yang ketat, mulai dari Praverifikasi kemudian masuk pada rapat verifikasi sampai dengan keluarnya DPT, sehingga dokumen (DPT) tersebut menjadi dokumen pengadilan. Ini harus menjadi fakta hukum yang menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan perkara. TOK