Surabaya, Timurpos.co.id – Winarti, mantan pegawai Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN) cabang Kedungdoro Surabaya minta dibebaskan dari dakwaan kasus dugaan penggelapan uang senilai Rp1,7 miliar.
Hal itu tertuang dalam nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan tim penasihat hukum Winarti, Michael SH MH CLA CTL CCL, Pipon Rudiantono SH MH dan Denny Agung Prakoso SH di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (20/2/2024). Penasihat hukum juga meminta majelis hakim menyatakan eksepsi terdakwa diterima seluruhnya. “Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan memulihkan hak sekaligus nama baik terdakwa pada keadaan semula,” kata Michael.
Menurut Michael, perbuatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berada di luar jangkauan atau berada diluar yurisdiksi KUHPidana. Melainkan yurisdiksi KUHPerdata. Sehubungan dengan itu, tindak pidana yang didakwakan, tidak dapat diproses. Baik tingkat penyidikan, penuntutan maupun peradilan. “Meminta kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan gugur hak jaksa melakukan penuntutan perkara ini,” pintanya.
Dia menambahkan, akibat hukum yang melekat dalam kasus ini, hak jaksa menuntut terdakwa dalam perkara ini gugur demi hukum. “Kami, selaku tim penasihat hukum memohon pada Yang Mulia Majelis Hakim untuk dapat memeriksa, mempertimbangkan dan mengadili perkara ini menurut fakta hukum dan keyakinan Yang Mulia Majelis Hakim,” imbuhnya.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa lainnya, Denny Agung Prakoso SH mengatakan, dakwaan jaksa kabur, tidak jelas dan tidak cermat. Dakwaan tidak menguraikan secara lengkap perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa. “Dalam surat dakwaan, saksi menemukan adanya ketidaksesuaian antara fisik uang yang ada di brankas dengan sistem pada bank BTPN,” katanya.
Usai pembacaan eksepsi, Ketua Majelis Hakim I Ketut Kimiarsih akan melanjutkan sidang pada Kamis (22/2/2024) mendatang dengan agenda tanggapan jaksa atas eksepsi terdakwa. “Kalau bisa sidangnya siang saja,” kata Ketut.
Diketahui berdasarkan surat dakwaan JPU Fukon Adhi Nugroho menyebutkan, kasus ini berawal dari Terdakwa Winarti selaku pegawai BTPN KCP Kedungdoro yang menjabat sebagai Branch Service Manager (BSM) WMB BTPN KCP Sinaya Kedungdoro.
Bahwa dalam melaksanakan tugasnya, terdakwa telah melakukan sesuatu tindakan yang seolah-olah memastikan mengikuti langkah-langkah prosedur yang berlaku dalam menjalankan usaha bank. Namun data dan/atau dokumen yang digunakan tidak valid atau fiktif atau tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Saat serah terima tugas dan tanggungjawab sebagai BSM dari terdakwa kepada saksi Nesya Larasati Prida Putri, saksi Nesya Larasati Prida Putri menemukan adanya ketidaksesuaian antara fisik uang yang ada pada brankas BTPN KCP Sinaya Kedungdoro dengan sistem pada bank BTPN (FES), dimana dalam sistem FES tertanggal 12 April 2023 jumlah kas besar BTPN KCP Sinaya Kedungdoro adalah Rp2,01 miliar, tetapi jumlah fisik uang dalam brangkas tidak sejumlah itu.
Disisi lain, terdakwa mencetak dan menandatangani Laporan Harian Kas Besar BTPN KCP Sinaya Kedungdoro seolah-olah jumlah total kas sebenarnya dalam sistem FES adalah Rp1,9 miliar. Rinciannya, sejumlah Rp160,72 juta dipegang oleh kasir. Sisanya berada didalam brangkas, yang berarti bahwa uang yang berada didalam brankas ruang khasanah seharusnya berjumlah Rp1,83 miliar.
Dari kegiatan surprise fisik dan cash opname diperoleh hasil bahwa ternyata uang yang berada dalam brankas hanya tersisa Rp58,9 juta dan uang sejumlah Rp160,72 juta dipegang oleh kasir. Sehingga Laporan Harian Kas Besar yang dicetak dan ditandatangani oleh terdakwa tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan mengakibatkan kerugian BTPN sejumlah Rp1,7 miliar.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo Pasal 263 Ayat (1) KUHP. Jo Pasal 374 KUHP. Tok