Kasus Proyek Fiktif di PT Angkasa Pura Kargo Disidangkan Secara Pidana Umum

Kerugian ditafsir sekitar Rp 4,7 miliar

HUKRIM23 Dilihat

Surabaya,Timurpos.co.id — Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan proyek fiktif senilai Rp 4,7 miliar yang merugikan PT Angkasa Pura Kargo (APK), Senin (28/7). Terdakwa utama, Thomas Bambang Jatmiko Budi Santoso, disidangkan atas dugaan penipuan dan penggelapan. Uniknya, perkara ini tidak dibawa ke ranah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) meski melibatkan perusahaan negara.

Thomas diadili bersama sejumlah pihak lain, termasuk dua petinggi APK: General Manager of Logistic and Supply Chain, Ade Yolando Sudirman, serta Plt. Manager Contract Logistics, Muhammad Fikar Maulana. Keduanya diduga menjadi otak proyek pengadaan fiktif berupa tiang listrik, lampu tenaga surya, dan rig pengeboran. Adapun nama lain seperti Indriati, Hendra, dan R. Abdoer Rachim, masih dalam proses penyidikan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yulistiono dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menjerat Thomas dengan Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penipuan, serta Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penggelapan.

Baca Juga  Saksi Mengaku Perkara Yayasan Masjid AL Ichlas Jadi Terang Benderang

Dalam dakwaan jaksa, disebutkan bahwa kasus ini bermula pada November 2020 saat Thomas dikenalkan kepada Ade Yolando dan Fikar. Thomas menawarkan jasa pengiriman logistik dalam proyek skala besar ke berbagai wilayah. Namun, alih-alih menjalankan proyek sesuai prosedur, Ade justru menyarankan agar nilai proyek dalam Surat Perintah Kerja (SPK) dinaikkan dari nilai riil demi memenuhi target akhir tahun.

Thomas menyetujui rencana tersebut dan mengajukan tiga SPK senilai total Rp 5,5 miliar, padahal biaya pengiriman sebenarnya jauh di bawah angka itu. Pelaksanaan proyek dilakukan melalui PT Trans Milenial Asia (TMA) milik Thomas. Meski begitu, operasional di lapangan justru ditangani oleh pihak lain yang ditunjuk Fikar.

Baca Juga  Kapolres Malang Resmikan Gedung TK Bhayangkari 11 Tumpang

Dana proyek kemudian ditransfer APK ke rekening PT Indria Lintas Sarana (ILS), yang menurut jaksa merupakan perusahaan “pinjaman” milik Indriati. Dana tersebut lantas dialirkan ke beberapa pihak, termasuk R. Abdoer Rachim dan seorang bernama Fadli, melalui perjanjian kerja sama yang diduga fiktif.

Meskipun sebagian barang—seperti 5.000 batang tiang dan 1.800 solar lamp—telah dikirim, penagihan ke APK tetap dilakukan berdasarkan nilai proyek yang telah dimark-up sesuai arahan Ade.

Untuk menjamin pembayaran, Thomas menyerahkan 35 lembar cek BRI tanpa tanggal. Namun saat hendak dicairkan, seluruh cek ditolak karena tidak dilengkapi stempel resmi perusahaan. APK telah mengirimkan dua kali surat peringatan dan satu somasi. Dalam jawabannya, Thomas mengaku belum membayar sepeser pun, namun berjanji mencicil Rp 200 juta per bulan. Faktanya, hingga saat ini, belum ada pembayaran yang diterima oleh perusahaan.

Baca Juga  Digitalisasi Pelaporan Pajak di Indonesia dengan Solusi Tanda Tangan Digital dari VIDA

Kuasa hukum Thomas, Setiawan Nugraha, menyayangkan perkara ini tidak diproses sebagai perkara Tipikor. Ia menilai, karena melibatkan BUMN, kerugian negara semestinya menjadi fokus utama.

“Kalau perkara ini disidangkan di pidana umum, maka potensi kerugian negara akan hilang. Ini bukan hanya persoalan bisnis, tapi menyangkut keuangan negara,” tegas Setiawan usai persidangan.

Ia juga menambahkan bahwa cek yang diberikan kliennya bukan merupakan alat pembayaran, melainkan jaminan proyek.

“Cek itu sebagai jaminan, bukan alat bayar,” pungkasnya.

Jaksa menyatakan bahwa penyidikan terhadap tersangka lainnya masih berjalan dan akan terus dikembangkan. TOK